Inspiration

AJI MUMPUNG

Judul tulisan ini diadopsi dari bahasa Jawa yang berkonotasi negatif. Dalam budaya Indonesia kata “aji” berasal dari bahasa Sanskerta yang mengandung makna “rasa” yang dikaitkan dengan benda bertuah, benda berharga, pusaka, dan lain sebagainya. “Mumpung” juga diadopsi dari bahasa Jawa yang bermakna “selagi ada” kesempatan, kapan lagi. Jadi aji mumpung dapat dimaknai sebagai sikap yang memanfaatkan situasi dan kondisi untuk keuntungan dan kepentingan pribadi atau kelompok yang mengarah pada keserakahan. 

Dalam falsafah Jawa, aji mumpung itu merupakan kesempatan berharga selagi orang sedang memegang jabatan, kewenangan, kekuasaan, atau status yang memungkinkan untuk mendapat peluang yang menguntungkan kepentingan pribadi atau golongan. Aji mumpung selalu dalam konteks kepentingan dan keuntungan jangka pendek. 

Aji mumpung yang paling gampang dan sederhana dapat dilihat saat saya melihat kawan yang datang ke suatu pesta pernikahan di gedung mewah. Melihat hidangan lezat beranekaragam, mereka menerapkan aji mumpung. Mumpung “gratis” (meskipun tidak gratis juga, karena sudah memberi amplop), mumpung enak, mumpung tidak banyak yang kenal, mumpung ada, mumpung lapar, dan sebagainya. Aji mumpung ini bisa diterapkan lintas batas usia, status sosial, status ekonomi, apalagi ketika berurusan dengan kebutuhan isi perut. 

Melihat mentalitas bangsa ini, yang sebelumnya saya juluki sebagai bangsa pengoplos, maka aji mumpung ini memiliki peranan kunci. Para koruptor kelas teri sampai kelas kakap itu juga menerapkan aji mumpung. Aji mumpung ini seperti pusaka yang harganya mahal, bisa bermilyar-milyar bahkan. Mereka sudah mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk bisa mendapatkan jabatan.  Maka ketika duduk menjadi pejabat, atau punya profesi sebagai aparat negara, mereka sudah tak segan menggunakan aji mumpung. Mumpung punya kuasa, maka harus diperas agar bisa balik modal. Itu mentalitasnya.

Aji mumpung itu tidak lama kesaktiannya. Ada masa kedaluwarsanya, yaitu ketika orang yang menggunakannya sudah turun, lengser, dari jabatannya atau dipenjara karena kelakuannya. Maka, para pengguna aji mumpung ini selalu memanfaatkan waktu dengan secermat-cermatnya, mumpung masih berkuasa, mumpung masih punya pengaruh, mumpung masih punya pengikut, mumpung belum ketahuan.

Dari lapisan bawah hingga puncak tertinggi orang di negeri ini menerapkan aji mumpung di segala bidang dengan sempurna. Mumpung jadi ketua RT, ketua RW, kepala desa, camat, bupati, walikota, gubernur, jadi polisi, jadi tentara, jadi hakim, jadi jaksa, jadi jenderal, jadi direktur, hingga presiden, seolah semua berhak melakukan apa pun seenak perutnya. Mumpung jadi penegak hukum, maka dibuatlah alasan yang dibuat-buat untuk memeras orang-orang yang berhadapan dengan hukum. Mumpung punya rumah sakit, maka bikin orang pada sakit terus agar bisa menghasilkan duit. Mumpung jadi wakil rakyat, buatlah kebijakan agar punya proyek milyaran yang bisa masuk kantong.  Mumpung jadi penguasa, gusurlah masyarakat sebanyak-banyaknya. Mumpung masih bisa diakali, buatlah masyarakat bodoh terus. Masalah orang lain atau rakyat, bodo amatEmang gue pikirin, begitu kira-kira orang yang sedang mabuk kepayang dengan aji mumpung.

Tapi memang kenyataannya demikian, kelakuan mereka seenak perutnya, karena para pengguna aji mumpung itu berlomba untuk mencari uang dan kekuasaan sebesar-besarnya demi perut dan urusan bawah perut. Mumpung bisa maling dan belum ketahuan, malinglah dengan baik. Mumpung punya kuasa, hancurkan para penentang yang menghalangi aliran duit. Mumpung kaya raya, belilah seluruh isi dunia. Mumpung bisa mengoplos BBM, oploslah biar untungnya selangit. 

Sahabat saya sampai curiga, jangan-jangan DNA bangsa Indonesia itu memang sudah bermental bangsa pengoplos , bangsa munafik, bangsa bedebah, yang menggunakan pusaka aji mumpung. Menurut pakar sosiologi, penggunaan aji mumpung ini sudah menjadi sebuah penyakit sosial, atau patologi sosial. Tapi fenomena di Indonesia ini akan sulit diteliti, karena patologi sosial itu mengamati perilaku yang menyimpang dari norma sosial yang mengabaikan moral dan hukum formal. Lalu, kalau semua orang sudah menyimpang dan tidak ada yang taat pada moral dan hukum formal, apakah ini disebut penyakit? Bisa jadi pakar yang waras dan melihat ini sebagai penyakit adalah orang yang sakit. Atau, saya sendiri yang berusaha menjaga kewarasan ini malah dianggap sakit di tengah bangsa yang mentalnya sudah sakit ini?  

Saya hanya berpikir simpel saja, mumpung saya masih punya otak, punya gagasan, punya niat baik, maka saya menulis. Mumpung kita masih agak berakhlak waras, masih punya hati dan suara nurani yang baik, mengapa tidak kita tularkan. Mumpung kita belum munafik, mari kita tularkan kebaikan dan kebenaran. Tapi sayang, menerapkan istilah aji mumpung untuk sesuatu yang baik itu kini makin langka dan kurang menguntungkan. Hidup adalah pilihan. Mumpung masih hidup, kita mau memilih aji mumpung yang mana?***

Foto dari https://depositphotos.com/photos/greedy.html

One thought on “Inspiration

Add yours

Leave a comment

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑