Perang Amerika dan Vietnam dari 1955 hingga 1975 telah mengakibatkan penderitaan tak terperi. Lebih dari satu juta jiwa melayang dari semua pihak terlibat. Tak berhenti di sana, karena penderitaan akibat perang tetap dirasakan semua orang, terutama orang-orang Vietnam sendiri.
Penderitaan akibat perang itu telah menggerakkan berbagai aksi kemanusiaan untuk membantu meringankan mereka yang dirundung kesengsaraan. Alkisah ada sebuah biara Buddha yang turut tergerak untuk membantu. Seorang biksu tergerak hatinya untuk turut membantu. Tapi ada dilema yang dihadapinya.
Selama ini para biksu hidup di biara dengan kegiatan yang didominasi hidup doa dan pengolahan spiritual. Sementara bantuan kemanusiaan memerlukan karya nyata. Artinya mereka harus berani keluar dari rumah doa dimana para biksu menggeluti dunia rohani dan menjauhkan diri dari dunia material di luar tembok biara.
Singkat kata, niat baik biksu tersebut diterima oleh seluruh anggota biara. Mereka sepakat untuk keluar biara untuk membantu meringankan penderitaan para warga desa pascaperang. Ternyata, aksinya diterima. Mereka justru menemukan kebahagiaan baru saat membantu sesama yang sedang menderita.
Mereka belajar bahwa dunia nyata yang diwarnai kesengsaraan dan penderitaan tak bisa tertolong hanya karena doa. Orang-orang yang berkesusahan itu butuh uluran tangan nyata, bukan sekedar lantunan doa dan litani.
Ada pepatah mengatakan: Jangan pernah meminta petunjuk Tuhan untuk menuntun langkahmu atau langkah orang lain kalau kamu sendiri tidak mau melangkahkan kakimu. Maknanya, kita tidak bisa minta Tuhan menggerakkan orang lain sementara kita sendiri hanya sibuk berdoa tapi tidak turut beraksi untuk menggerakkan orang lain.
Iman tanpa perbuatan adalah mati, sabda yang tertulis dalam Kitab Suci. Ayat itu dalam sekali maknanya. Percuma orang mengaku beriman, taat beribadah, rajin mengunjungi rumah ibadah, penuh takwa, tapi hanya sebatas di mulut, tanpa pernah memberi aksi nyata. Tangan dan kakinya hanya diam menikmati zona nyaman di kursi doa agar kelihatan saleh, sementara di luar rumah doa banyak anak kecil dan anak yatim kelaparan minta makan.
Banyak orang sekarang merasa hebat karena selalu tinggal di rumah doa. Seolah sudah penuh cinta dan takwa. Saat menyumbang ke rumah ibadah, orang yang mengaku beriman rela mengeluarkan uang jutaan rupiah, seolah menambah kesalehan religiusnya. Senyumnya mengulum puas. Dadanya membusung bangga karena sumbangan besarnya. Tapi, mulutnya bawel dan beralasan tidak punya uang ketika ada anak tetangga minta bantuan karena tidak bisa membayar uang SPP dua ratus ribu rupiah.
Untungnya para biksu tadi akhirnya menemukan kemuliaan hidup ketika mereka berani keluar dari rumah doa. Matanya terbuka terhadap penderitaan nyata sehingga hatinya tergerak untuk mengulurkan tangan ketulusan. Mereka menemukan kebahagiaan ketika senyuman tulus mereka cukup berarti bagi sesamanya yang sedang dilanda kedukaan. Empati, cinta, penghiburan, dan ketulusan yang mereka bagikan memberikan semangat dan harapan hidup para korban perang.
Para biksu itu bisa melihat harapan dan kegembiraan di dunia nyata. Orang, pohon, bunga, burung, binatang pun seolah menyambut ketulusan mereka. Doa dan iman para biksu dalam karya nyata itu telah membuat bumi yang berduka kembali tersenyum. Iman dalam perbuatan membuat para biksu itu bahagia, karena mereka telah berani keluar dari rumah doa. Kedamaian bisa tercipta ketika ada senyuman.
Kata Ibu Teresa, “Keajaiban terjadi bukan pada apa yang kita lakukan, tetapi ketika kita melakukan sesuatu dengan bahagia dan tulus.” Dan, para biksu itu telah membuat keajaiban dari iman dan doanya melalui aksi nyata pada sesama.***
