NILAI AKADEMIS ATAU NILAI HIDUP
Beberapa waktu lalu, kawan main bulutangkis curhat pada saya. Ia punya putri tunggal yang kuliah di sebuah universitas negeri ternama di kawasan Sumedang, Jawa Barat. Putrinya termasuk beruntung karena ia bukan berasal dari SMA negeri unggulan tapi bisa masuk jalur tanpa tes di jurusan bergengsi. Berarti ada faktor nasib, selain memang anaknya pintar, kalau saya simpulkan dari cerita bapaknya.
Sayang bapaknya terlalu lugu dan tidak tahu menahu seluk beluk persekolahan dan perkuliahan. Ia bahkan tak menyadari kalau anaknya beruntung bisa diterima di jurusan keren tanpa tes dan perguruan tinggi negeri ternama pula. Ia baru tahu kalau anaknya pintar ketika kepala sekolahnya memberi selamat atas kesuksesan putrinya.
“Pak, anak saya sudah rapotan. Saya kemarin menjemput dia di kosan. Waktu dia kasih tunjuk nilai rapornya, saya kaget. Saya omelin habis dia. Udah berat ngelepasin anak satu-satunya, rumah jadi sepi, dibiayai kos mahal di dekat kampus biar aman, eh nilai rapornya cuma 4. Masak nilai cuma 4. Harusnya 9 atau 10 kan, Pak? Saya marahin anak saya, Pak,” kata kawan saya berapi-api.
Saya hanya melongo, terperanjat kaget tanpa berkata-kata. Saya hampir tidak percaya ada orang tua yang tega memarahi anak gadisnya karena nilainya kurang dari ekspektasi orang tuanya. Saat kuliah dulu saya mencari nilai nol koma sekian saja sulitnya setengah mati.
“Pak, putri bapak itu hebat sekali. Itu idaman para mahasiswa dan dosen. Nilai rapor 4 itu nilai tertinggi untuk anak kuliahan. Nilai akademik di kuliah beda dengan nilai di SMA. Nilai nol koma nol nol itu sangat berarti, dan berat carinya, Pak. Nilai 4 itu sama saja 10 kalau di SMA. Kenapa anaknya sudah hebat masih diomelin, Pak?” sahut saya sambil membatin “betapa malang benar nasibmu nak, punya bapak semacam ini.”
Gantian kawan saya yang kemudian melongo, kelihatan bego, setelah mendengar penjelasan saya. Ada rasa sesal dan malu atas kebodohannya itu. Saya pun terbayang bagaimana hancurnya hati putrinya. “Waduh, kalau begitu saya harus balik ke Sumedang, minta maaf ke anak saya nih, Pak,” katanya singkat sambil ngeloyor pergi.
Berkaca dari kisah itu saya pun kadang merasa prihatin dengan para orang tua yang hanya berorientasi pada nilai akademis. Nilai yang diukur dengan angka-angka berdasarkan hasil ujian siswa. Sekolah pun turut andil menciptakan iklim kompetisi bagi siswanya untuk mengejar nilai angka dengan berbagai cara. Orang tua pun turut membabi buta agar anaknya bisa meraih nilai tertinggi di kelasnya. Semua penghalang, norma, aturan, kadang ditabrak demi nilai akademis terbaik untuk anaknya. Kadang orang tua juga tidak realistis dengan melihat kemampuan anaknya. Ada pemikiran transaksional di benak orang tua. Sekolah bayar mahal, nilai pun harus tinggi agar sebanding dan tidak rugi.
Saya pernah mengalami menjadi orang tua yang menuntut seperti itu dulu. Nilai akademis adalah segalanya dan harus diupayakan dengan segala cara. Namun saya sekarang punya pola pikir yang beda. Ternyata nilai-nilai hidup jauh lebih tinggi dan lebih penting daripada nilai akademis.
Mohon maaf, dengan iklim kompetitif tak sehat di sistem pendidikan kita, nilai angka menjadi komoditas yang bisa diubah dan disesuaikan, entah demi aturan, demi tuntutan dari lembaga. Yang penting orang tua puas, sekolah aman reputasinya, dan anak pun senang. Tapi nilai-nilai hidup tentang kejujuran, sportifitas, perjuangan, terkorbankan, dan bahkan diabaikan.
Saya selalu mengatakan pada anak-anak saya, bahwa usaha dan perjuangan itu jauh lebih mulia dan berharga dibanding angka di rapor. “Percayalah, usaha tidak akan mengkhianati hasil. Usaha berbanding lurus dengan hasil. Nilai angka itu hanyalah bonus dari usahamu. Semakin serius usahamu, semakin serius pula nilaimu, nak,” pesan saya pada anak-anak.
Alhasil, kalau nilai rapor anak saya bagus, saya hargai usaha mereka. Kalau nilainya jeblok, saya ingatkan hukum sebab akibatnya. Mereka belajar tentang konsekuensi dari tiap keputusan yang mereka ambil. Maka saya berani mengatakan bahwa nilai-nilai hidup jauh lebih penting dari nilai akademis. Minimal itu berlaku untuk anak-anak saya. ***
Foto dari https://parenting.firstcry.com/articles/20-tips-on-how-to-make-your-children-interested-in-study/

ilustrasinya koq kaku gitu? Lha opo anake gak menjelaskan ke ayahnya? Sayang tidak dinarasikan demikian.. kalo anaknya dimarahi diem aja, dan tdk menjelaskan.. dia memang bego dengan nilai 4
hehehe
LikeLike