Betapa sering kita bertemu dengan kawan, saudara, kolega, keluarga yang selalu mengingatkan kita agar selalu bahagia. “Jangan lupa bahagia ya,”; “Yang penting hepi”; “Hidup harus penuh sukacita dan bahagia,” dan seabreg ungkapan lain yang ujungnya mengingatkan kita agar selalu bahagia.
Saya pernah mendesain kaos dengan gambar muka anjing sedang tersenyum, dengan tulisan “Bahagia itu sederhana”. Banyak yang suka kaos itu. Minimal sebagai pengingat bagi orang yang mengenakannya untuk selalu bahagia, karena bahagia itu sederhana.
Tapi faktanya kadang tidak semudah tulisan atau seindah senyuman anjing di di kaos itu. Sering saya malah stres dan marah-marah oleh hal sepele justru saat saya mengenakan kaos bertuliskan “Bahagia itu sederhana”.
Saya sangat sepakat bahwa untuk bahagia itu tidak perlu alasan muluk dan canggih. Banyak alasan sepele dan sederhana yang bisa membuat kita bahagia. Tapi kadang harus kita akui pula bahwa bahagia tidak sesederhana tulisan di kaos hasil desain saya. Ironis sekali.
Bahagia itu adalah pilihan hidup. Artinya, kita dengan sadar dan sepenuh hati memilih untuk bahagia. Namun kadang lain di mulut, lain di hati, dan lain di tindakan. Di mulut kita mengatakan “aku bahagia”, di hati kita sedang merasa kecut, jeri, takut, benci, kesal. Akhirnya tindakannya pun melenceng dari apa yang diniatkan di mulut.
Saya sedang membuat tantangan dengan diri saya untuk urusan bahagia ini. Saat pagi bangun tidur, saya berniat mantap dan memilih untuk bahagia dalam sehari. Saya tersenyum mantap dengan niatan hati itu. Pagi itu saya awali dengan senyum sebagai lambing kalau saya bahagia.
Detik berlalu dan berganti menit. Menit pun berlalu berganti jam. Kegiatan harian pun mulai beragam. Interaksi dengan orang lain, anggota keluarga pun bermacam-macam. Tiba-tiba ada peristiwa sepele yang membuat kita jengkel. Entah anak yang bangun telat, entah sampah yang berserakan lupa dibuang, entah cucian piring yang menumpuk. Semua itu cukup jadi alasan untuk jengkel dan ngomel.
Lalu, saya sadar, berapa lama saya berniat bahagia dan menjalani hidup bahagia? Baru hitungan menit saja sudah gagal. Saya sudah mengkhianati niatan suci untuk bahagia. Dari pengalaman ini saya lalu berpikir, kadang bahagia itu tidak sederhana, meskipun sebetulnya sederhana.
Lalu bagaimana caranya? Saya mencoba untuk menahan diri, tidak mudah bereaksi atas aksi atau peristiwa di luar diri saya. Saya mencoba menikmati setiap hembusan nafas saya sendiri. Saya mencoba menyadari setiap hal yang saya lakukan saat di kamar mandi, saat sabunan, saat minum, saat makan, minum, dan sebagainya. Ternyata sikap dan kesadaran sederhana ini yang membuat niat bahagia itu bisa bertahan. Tidak mudah memang, tapi layak dicoba.
Judul tulisan saya ini mengajak Anda untuk meniatkan bahagia setengah hari saja. Bukan saya tidak percaya pada kekuatan niat Anda. Tapi bahwa niat saja tidak cukup kalau kita tidak menyadari bahwa kita sering mudah bereaksi pada hal yang di luar kendali kita. Baru satu jam, kita tiba-tiba ingat deadline, ingat omongan sinis tetangga, ingat sikap kolega kemarin yang tak mengenakkan. Kita lalu gagal bahagia meski hanya beberapa menit.
Bahagia itu datang bukan dari akibat kita mendapatkan apa yang tidak kita miliki. Bahagia itu datang saat kita mengenali, menyadari, dan menghargai apa yang telah kita miliki saat ini. Ini diwakili dengan sikap penuh syukur. Bahagia itu sikap hati yang sadar untuk tidak mudah bereaksi terhadap aksi di luar diri. Bahagia itu datang saat kita menyadari nafas dan hidup kita di setiap detik.
Sebagaimana bahagia, sikap penuh syukur pun adalah pilihan. Ketika kita terbiasa hidup penuh dengan rasa syukur, maka akan ada anugerah luar biasa yang akan kembali pada hidup kita. Seorang aktor dari Kanada, Will Arnet pernah berkata, “Saya bahagia karena saya bersyukur. Saya memilih untuk bersyukur. Rasa syukur itu membuat saya bahagia.”
Mari kita berlatih untuk bahagia satu jam saja, atau setengah hari saja. Mari kita tetap sadar, konsisten dengan niat di pikiran, hati, dan tindakan. Jangan terpengaruh dengan apa pun, siapa pun di luar diri kita. Kalau bisa, berarti benar, bahwa bahagia itu sederhana. Selamat mencoba bahagia setengah hari.***
Foto dari https://goodthinkinc.com/harvard-business-review-are-happy-people-dumb/

Saestu Sae Sanget…sarujuk, bahagia itu pilihan sadar
LikeLike
siip mas..maturnuwun..bahagia itu memang pilihan kok
LikeLike
asu bahagia… aku duwe kaos e… hahaha..
LikeLike
cen menungsa ki seneng mikir sing ora kudu dipikir. Sing kudu dipikir malah ora kepikiran.
LikeLike
nek ora ribet jenenge dudu menungsa..ra tau pener lan bener hahaa..nuwun Mo
LikeLike
hahaa…justru kaos kui jadi reminder nek dewe sok lali bahagiyaaa..nuwun ya
LikeLike