MANUSIA SERAKAH, SIAPA SALAH?
Akhir-akhir ini panggung politik dan pemerintahan sedang menyuguhkan sebuah tontonan tentang keserakahan. Para pemimpin negeri yang seharusnya menjadi suri teladan justru terjebak dalam upaya mengumbar nafsu untuk saling menundukkan melalui nafsu kekuasaan, nafsu politik, nafsu akan harta dan sumber daya. Kebetulan Harian Kompas menurunkan tulisan menarik soal keserakahan manusia ini.
Tulisan itu menyebutkan bahwa nafsu serakah itu tertanam dalam genetik manusia sehingga ia bisa bertahan hidup dan berkembang biak. Keserakahan untuk berebut sumber daya membuat manusia berevolusi dan bertahan hingga kini. Manusia dengan sempurna mengembangkan keserakahan ini jauh lebih baik dari binatang. Tapi efeknya justru keserakahan yang makin menggila itu menimbulkan kecemasan dan kerusakan tatanan hidup, tujuan, nilai kehidupan, dan makna kehidupan. Boleh dikata, keserakahan telah merusak nilai dan sistem sosial di masyarakat. Keserakahan mengendurkan ikatan keluarga dan masyarakat yang menjadi dasar pembentukan masyarakat, seperti akal sehat, kasih sayang, dan cinta.
Dalam kehidupan sehari-hari pun kita tanpa sadar juga sering ikut melanggengkan budaya serakah itu. Contoh yang paling gampang adalah saat mengambil makan prasmanan saat menghadiri resepsi. Orang tanpa sadar akan menggunakan kesempatan untuk mengambil makanan sebanyak-banyaknya mumpung antrean belum panjang, mumpung makanan masih banyak dan lengkap. Padahal porsi dan kapasitas perutnya sesungguhnya terbatas. Ujung-ujungnya makanan yang diambil tidak dihabiskan.
Atau, contoh lain yang sederhana adalah saat ada obral diskon untuk produk tertentu, entah di pusat perbelanjaan, di pasar, atau di toko online. Wujudnya bisa makanan, minuman, barang, baju, perhiasan, bahkan kendaraan yang harganya selangit. Kita sejatinya hanya perlu satu barang yang kita butuhkan dan itu sudah cukup. Tapi mumpung ada diskon, kita memborongnya melebihi takaran yang diperlukan. Toh harganya murah. Lalu, kalau kita memborong baju diskon 10 potong, apakah kita akan mengenakannya semua? Saya kira tidak. Kita hanya cukup satu baju saja saat dikenakan. Sisanya teronggok di lemari.
Bumi dengan segala kebesaran dan kekayaannya tidak akan cukup untuk memuaskan nafsu serakah manusia. Dunia ini terlalu sempit bagi orang serakah. Pada hakikatnya orang serakah adalah orang yang miskin. Tapi, orang yang miskin bukan mereka yang tidak punya apa-apa, tetapi orang selalu ingin lebih banyak. Tidak ada kata cukup untuk bisa membatasi keinginannya.
Pada akhirnya, budaya konsumtif dan hedonis yang menekankan pada keserakahan itu membuat manusia kebal terhadap rasa puas dan rasa syukur. Setelah mendapatkan sesuatu, entah harta, kuasa, tahta, atau wanita, mereka langsung menginginkan yang lain yang lebih besar, lebih tinggi, lebih banyak. Mereka bisa memiliki semuanya, tapi mereka tidak bisa menikmatinya, sebesar dan sebanyak apa pun harta dan jabatannya. Jiwa mereka mungkin hampa, karena selalu merasa kehausan untuk diisi dengan nafsu serakah.
Saya kagum dengan mantan Presiden India, Abdul Kalam, seorang pemimpin, negarawan, ilmuwan, sekaligus orang bijak. Ia pernah mengatakan bahwa uang dapat membeli rumah, tapi bukan membeli suasana rumah. Uang dapat membeli tempat tidur, tapi tidak dapat membeli kualitas tidur. Uang dapat membeli arloji, tetapi bukan membeli waktu. Uang dapat membeli makanan, tapi bukan selera makan. Uang dapat membeli teman, tapi bukan cinta. Saya menambahi, bahwa uang dapat membeli kekuasaan, tapi bukan kebijaksanaan. Uang dapat membeli harta, tapi bukan kebahagiaan. Uang dapat membeli obat, tapi bukan kesehatan.
Sesungguhnya nafsu serakah itu tidak ada ujungnya dan rasa puas itu tak akan pernah diperoleh dari keserakahan. Imam Ali pernah mengatakan, orang yang paling kaya adalah orang yang tidak terpenjara oleh nafsu serakah. Hanya kata ‘cukup’ yang bisa membuat orang menjadi kaya. Sayangnya, kata ‘cukup’ itu semakin langka di negeri kita Indonesia, karena para pemimpin selalu menghapus kata ‘cukup’ itu dari kamus hidupnya.***

Cukup itu multimakna, kadang bilang cukup pun bisa dipertanyakan, koq cukup?? … hahahaaa
LikeLike