TAKUT APA KATA ORANG
Beberapa hari lalu, sahabat saya , Ali, menceritakan bahwa istrinya sedang galau. Sebagai ibu muda sekaligus Bu RT di wilayahnya ia tak kurang-kurang melibatkan diri dalam kepentingan sosial dan kemasyarakatan. Ia tidak berhitung lagi dengan waktu, tenaga, pikiran, maupun uang. Tapi ada saja yang selentingan negatif tentang dirinya.
Ali, sang ketua RT, itu lalu menanggapi keluhan istrinya. “”Apa yang sudah kamu lakukan untuk berbuat baik, jangan merasa itu sebuah pengorbanan, tapi nikmatilah itu sebagai ibadah. Biarkan Tuhan yang memberi nilai, karena memang hanya Dia yang punya hak untuk itu. Selebihnya pasang headset-mu dan putar musikmu.”
Nasihat Ali saya rasa memang cukup bijaksana. Saya pun yang kebetulan dipercaya warga untuk menjadi RT harus bersikap seperti itu. Tidak mudah menghadapi puluhan keluarga dan ratusan warga agar hidup dalam tatanan dan norma demi kenyamanan dan keamanan hidup bermasyarakat.
Hidup bermasyarakat, apalagi masyarakat heterogen dengan banyak budaya, memberi tekanan sosial tersendiri. Tekanan sosial ini menyebabkan kecemasan dan ketakutan. Takut apa kata orang. Istilah kerennya hari ini adalah FOPO, Fear of People’s Opinion. Takut apa kata orang. Takut kalau kita berbeda, takut kalau kita tidak sama dengan identitas mereka. Takut kalau kita kelihatan sok. Takut kalau kita kelihatan menonjol. Takut kalau kita ditinggalkan, disisihkan, dan dijauhi tetangga. Tanpa disadari, FOPO itu akan membuat hidup kita tidak merdeka, terjajah, karena dibelenggu kekhawatiran tentang apa pendapat orang terhadap diri kita.
Contoh mudah soal FOPO ini kalau hidup di kampung. Ketika ada tetangga yang sedang punya hajat, atau sedang lahiran, atau sakit, lalu akan muncul semacam kewajiban moral tak tertulis bahwa kita harus datang mengunjungi dan menyumbang sesuatu, entah uang, barang, tenaga, waktu, pikiran. Celakanya, kalau dompet sedang kering, lalu ada tetangga punya hajat pernikahan, kita akan bingung. Mau datang, tidak punya uang. Kalau tidak datang dan tidak menyumbang, lalu apa kata orang. Kalau tidak peduli, ada ketakutan bahwa kita akan menghadapi tekanan sosial yang seolah menyingkirkan kita.
Saya melihat dilema sosial ini kalau melihat Ibu saya di kampung yang kadang harus mencari-cari yang tidak punya agar kelihatan punya, agar tidak dibicarakan orang. Alhasil, agar selamat dari “apa kata orang”, Ibu saya pun mencari cara agar merasa layak untuk memberi sumbangan ke tempat orang yang sedang punya hajat. Siklus itu berputar terus tanpa henti dan tanpa pandang bulu bagi orang yang masih tinggal di masyarakat.
Inilah budaya konformitas, yaitu pengaruh sosial yang membuat seseorang harus bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan norma kelompok yang ada. Norma ini muncul akibat tekanan kelompok. Konformitas ini muncul karena rasa takut terhadap celaan sosial, takut dianggap menyimpang dan tampil beda, serta takut dianggap tidak kompak. Keseragaman perilaku sosial inilah yang membuat FOPO makin muncul dan membuat orang takut apa kata orang.
Lalu, bagaimana cara mengatasi agar kita tidak FOPO? Salah satunya, kita harus latihan agar tidak baper, tidak bawa perasaan, gampang tersinggung. Jangan sampai perasaan atau emosi mengendalikan sikap kita gegara ada orang mengatakan kita negatif. Pandangan, penilaian, perkataan orang itu cerminan kualitas dan pengalaman mereka sendiri, bukan tentang kita. Itu adalah tentang pikiran mereka, bukan tentang kita.
Selama kita benar, yakinlah kalau kita benar. Kalau kita yakin benar, tapi orang tetap mengritik, menyakiti, berkata negatif tentang kita, jangan biarkan itu mengganggu pikiran dan perasaan kita. Ingatlah, dalam sebuah pertandingan, yang berisik itu adalah para penonton, bukan para pemainnya. Maka, kita harus menjadi pemain. Yakinlah dengan diri kita, kualitas diri kita, sejauh itu benar dan baik. Biarkan anjing menggonggong, lalu berhentilah dan tataplah anjing yang menggonggong itu kalau berani. Jangan berlari seperti kafilah dalam peribahasa lama. Atau, seperti nasihat Ali tadi, “Pasang headset-mu, putarlah musik kesukaanmu.” Niscaya kita tidak akan takut apa kata orang. Kita terhindar dari FOPO. ***

Leave a comment