Inspiration

FILOSOFI WABI-SABI

Pernah suatu kali saya mendengar pembicaraan seorang pria yang boleh dibilang mapan secara ekonomi dan status sosial. Usianya sudah setengah abad lebih. Dalam satu kesempatan di sebuah pusat perbelanjaan, ia dengan enteng mengatakan tentang kriteria seorang perempuan ideal yang masuk dalam kriterianya. 

“Bagiku perempuan yang seksi adalah perempuan yang muda, rambut panjang, muka jelas cantik, mungil. Proporsi tubuh yang ramping, kaki bagus, dada bagus, dan perut bagian bawah yang rata. Itu baru masuk kriteria perempuan idamanku,” katanya sambil menyeleksi para perempuan yang lalu lalang di pusat keramaian. 

Meskipun sekilas, apa yang saya dengar itu bukan sekedar candaan. Tapi sungguh merupakan pandangan dan kriterianya yang serius. Saya yakin bahwa dari penampilannya pria itu jelas sudah beristri, dan mungkin punya anak gadis juga. 

Sambil berjalan saya merenung sendiri. Betapa dunia patriarki yang berpusat pada laki-laki dalam artian tertentu melupakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Seolah laki-laki harus menang dalam segala hal di dunia yang didominasi laki-laki. Perempuan hanya objek pelengkap dan penderita dalam artian tertentu. 

Yang membuat saya prihatin, apakah pria mapan tadi sudah melupakan dan mengingkari keberadaan istrinya dan anak-anak gadisnya yang ada di rumah. Istrinya jelas ikut menua secara alami. Kerutan-kerutan tubuhnya, berkurangnya fungsi-fungsi tubuh, kecantikannya pun jelas akan menurun. Asumsi saya, sikap pria tadi berarti sudah menolak istrinya yang sudah tidak cantik dan menarik. Sebaliknya, anak gadisnya mungkin justru sedang berkembang kecantikan dan fisiknya. Artinya, pria itu mulai melirik perempuan lain yang seperti tampilan fisik anak gadisnya, yang muda, ranum, cantik, dan menarik. Saya pun mengelus dada dengan kesimpulan aneh ini. 

Saya ingin sekali mengajak pria tadi untuk belajar filosofi orang Jepang yang disebut wabi-sabi. Jika diterjemahkan secara bebas, ‘wabi’ merujuk pada keindahan dan kesederhanaan yang indah. Sementara ‘sabi’ adalah kerusakan benda yang sudah menua seiring berjalannya waktu. Falsafah keindahan yang muncul pada abad ke-15 ini menekankan pada kesederhanaan dan keindahan alami. Falsafah keindahan ini mengajari kita untuk melihat dan menemukan keindahan dalam segala hal yang tidak sempurna, tidak lengkap, dan tidak permanen atau fana. Keindahan itu bisa ditemukan di mana pun, dalam benda apa pun, dan makhluk ciptaan apa pun.

Dunia kita sekarang menjadi semacam kompetisi untuk mengejar kesempurnaan. Keindahan selalu identik dengan kesempurnaan. Ironisnya, yang sudah cantik dianggap tidak cantik lagi sehingga perlu dipermak. Yang sudah indah dianggap cacat sehingga harus dibetulkan. Para pengejar kesempurnaan hidup itu lupa bahwa sesungguhnya mereka telah merusak apa yang telah diciptakan sempurna. Tapi anehnya, yang tidak sempurna justru dianggap sempurna dan indah. 

Mungkin kita perlu mencoba menarik diri dari kompetisi kesempurnaan duniawi. Kalau kita menghargai pasangan kita apa adanya dengan hati penuh cinta, di sanalah kita akan menemukan kecantikan dan keindahan, sekalipun tidak sempurna menurut ukuran kita. Mau gemuk, gembrot, peyot, nglomprot, kempot, ceking, kurus. Keindahan selalu bisa dilihat dari kesederhanaan yang tanpa hiasan. Wabi-sabi menghargai kecacatan dan ketidaksempurnaan sebagai bagian dari proses alamiah kehidupan. Objek yang tua dan rusak pun memiliki keindahan yang unik. Wabi-sabi mengajarkan kita untuk menerima perubahan dan penghargaan terhadap keindahan di setiap momen hidup kita. 

Pertanyaannya, apakah kita masih punya kesadaran untuk mau dengan tulus menghargai kecantikan alamiah pada pasangan kita, anak kita, orang tua kita, saudara kita, sahabat kita apa adanya? Kalau Anda bisa, berarti Anda layak mendapatkan kehidupan yang tenang, sederhana, dan membahagiakan ini. Akan ada banyak alasan untuk mensyukuri segala ketidaksempurnaan dunia yang fana ini. Artinya, Anda sudah mendapatkan keindahan dan kecantikan dari dalam rumah sendiri, dan tidak perlu lagi mencari-cari kecantikan di luar. Mencintai yang tidak sempurna sesungguhnya adalah proses untuk menuju kesempurnaan hidup.***

Foto dari https://www.worldliteraturetoday.org/blog/translation/wabi-sabi-and-art-imperfection-veronica-esposito

2 thoughts on “Inspiration

Add yours

Leave a comment

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑