Saya sedang getol-getolnya menanamkan pikiran positif, perasaan positif, ucapan positif, tindakan positif dalam keseharian. Rasanya sikap ini cukup aktual di tahun politik yang mulai memanas ini di mana pikiran dan perasaan orang gampang diombang-ambingkan oleh pilihan, sikap, kelakuan, dan dukungan politik pada para politisi yang akan berlaga di Pemilu 2024 pada Februari nanti. Rasionalitas gampang ditindas dan tergantikan oleh sentimen suka atau tidak suka. Ketika rasionalitas sudah tidak ditempatkan pada fungsinya, maka kita cenderung hanya bertindak berdasarkan perasaan. Ada psikologi politik yang rentan untuk memecah belah kerukunan berkeluarga, berteman, bertetangga, bermasyarakat, dan berbangsa.
Meski saya getol untuk memegang rasionalitas, saya harus ambruk dan jatuh pada psikologi massa yang digerakkan oleh sentimen negatif, suka dan tidak suka. Ujung-ujungnya beradu argumen berbasis perasaan. Akibatnya emosi gampang tersulut, karena otak waras sedang diparkir. Inilah fenomena yang sedang terjadi. Otak waras sedang diparkir massal. Yang turun ke jalan, ke kanal media sosial hanya perasaan dan emosi yang diumbar-umbar untuk mengunggulkan yang satu dan menjelekkan yang lain.
Saya lalu berpikir, betapa mudahnya suasana negatif itu mengalahkan keteguhan orang yang berpikiran positif. Tak heran kalau akhirnya orang cenderung percaya, kalau sesuatu yang negatif itu lebih mudah terkabul dan menjadi kenyataan, dibandingkan ketika kita berpikir dan memimpikan sesuatu yang positif. Mindset positif gampang terkalahkan oleh mindset negatif. Itulah faktanya.
Besi sekuat apa pun akan hancur oleh karatnya sendiri. Karat itu muncul karena kelembaban udara sehingga mengakibatkan oksidasi logam. Pikiran positif kita ibarat besi yang keras dan kokoh. Tapi lambat laun pikiran positif itu bisa hancur oleh karat yang muncul dari situasi negatif yang selalu mengelilingi besi itu. Tak percaya? Sekuat apa pun kita berpikiran positif, kita akan luruh kalau kita berada di lingkungan yang “lembab” karena orang-orang atau suasana toksik. Orang atau suasana toksik itu bisa berupa teman, keluarga, tetangga, atau lingkungan yang isinya pemalas, penggosip, fanatik, pendendam, pembenci.
Tidak usah terlalu jauh mencari contoh. Saat kita berada dalam keluarga sendiri, apakah kita dikelilingi oleh pasangan yang cerewet, mau menang sendiri, egois, tukang gosip? Apakah anak-anak kita menyebalkan karena malas, tidak berinisiatif, tidak punya rasa tanggung jawab, egois, sombong? Kondisi semacam itu sudah cukup berpotensi untuk menyebabkan besi keteguhan kita berkarat. Mindset positif kita ikut karatan, dan bahkan ikut terkena imbas energi negatif itu. Demikian pula dalam konteks yang lebih besar seperti dengan tetangga yang egois, suka ribut, mau menang sendiri, benar sendiri. Kita yang awalnya merasa adem, lama kelamaan terpancing emosi sehingga muncul rasa jengkel, sebelum meningkat jadi kemarahan.
Mari kita mencari lingkungan yang tidak toksik. Minimal kita menciptakan pikiran dan perasaan yang positif sehingga kita pun akan ditarik pada energi yang positif pula. Agar besi keteguhan kita tetap kuat dan tak berkarat, mari kita temukan orang atau lingkungan yang selaras, agar emosi tidak mudah terombang-ambing, pikiran tetap waras, sekalipun suhu politik makin memanas. Semoga. ***(Leo Wahyudi S).
Foto dari https://www.sulindasteel.com/tidak-hanya-air-ternyata-hal-ini-juga-bisa-buat-besi-berkarat/

Leave a comment