Hari-hari ini dunia sedang dijejali dengan berita-berita negatif yang mengabarkan tentang angkara murka, hawa nafsu, dan syahwat untuk saling menguasai, baik secara politik, sosial, budaya, ekonomi. Seluruh media cetak maupun daring, termasuk media sosial, semua penuh dengan konten pilu, jeritan kemanusiaan yang berkelindan dengan konten provokasi, dan bahkan kebencian. Sekilas, wajah dunia kelam itu membuat sekian ratus juta manusia di tengah delapan milyar lebih populasi manusia dengan nurani sehat menjadi gerah dan hampir hilang harapan. Kaum pasifisme yang bermimpi tentang dunia damai seolah tersisih menjadi kaum utopis, karena perdamaian tak kunjung terwujud. Itulah sebabnya saya sengaja menggunakan judul yang agak paradoksal. Tidak usah mencari perdamaian, tetapi berusahalah menciptakan perdamaian dari pemikiran rasional dan hati yang bertanggung jawab. Meskipun soal perang dan perdamaian itu sudah kabur maknanya (Gertz, 2015:9). Asumsi bahwa perdamaian itu lebih baik daripada perang mulai bermakna beda bagi pihak mayoritas yang sudah memakainya, dan pihak minoritas dipaksa untuk menyesuaikan.
Lalu di mana peran para pemikir, para filsuf, dengan argumen-argumen kuat tentang perdamaian? Masih sanggupkah dunia kelam saat ini dilawan hanya dengan pemikiran, niat, bahkan doa? Saya yakin di tengah lautan syahwat perang dan kekuasaan masih ada manusia waras dengan keutuhan nurani, pikiran dan hati waras masih memelihara mimpi untuk menciptakan perdamaian. Mencari dunia damai saat ini hampir mustahil. Apalagi di tengah dunia yang penuh hiruk pikuk pertentangan ideologi yang dipandang sebagai sarana kelas atau kelompok yang berkuasa untuk melegitimasikan kekuasaannya dengan tidak wajar (Suseno, 1992:30). Tapi saya yakin, menciptakan perdamaian mungkin masih menjadi keniscayaan, bahkan menjadi tujuan yang sangat penting bagi tiap umat manusia. Untuk mencapai hal ini, pemikiran filsafat dari tokoh-tokoh seperti Eric Weil, Immanuel Kant, dan Thomas Aquinas dapat memberikan pandangan yang berharga. Dalam tulisan ini, kita akan melihat konsep penting saja dan kenyataan dalam membangun dunia damai berdasarkan pemikiran mereka.
Eric Weil, seorang filsuf Prancis abad ke-20, mengembangkan pemikiran tentang perdamaian melalui konsepnya tentang refleksi atau permenungan diri. Menurut Weil, refleksi adalah kemampuan manusia untuk melihat dan memahami realitas secara objektif. Dalam konteks perdamaian, refleksi memainkan peran penting dalam mengatasi konflik dan mencapai kesepakatan yang adil. Menurut Weil (Mulyatno, 2010), berfilsafat menjadi proses dialog untuk mengkomunikasikan perjuangan melawan dan meminimalisir kekerasan demi mewujudkan kehidupan yang manusiawi dan damai.
Weil berpendapat bahwa untuk mencapai perdamaian, individu dan masyarakat harus mampu melihat perspektif orang lain dan memahami kepentingan bersama. Setiap orang punya tujuan dan hidup yang berbeda (Yiaueki, 2023:22). Dalam konteks ini, refleksi membantu manusia untuk melampaui egoisme dan membangun hubungan yang saling menguntungkan. Dengan mempraktikkan refleksi, individu dapat menghargai perbedaan dan mencari solusi yang menguntungkan semua pihak. Manusia memiliki potensi kekerasan dan kemungkinan untuk membebaskan diri dari kekerasan dengan mewujudkan fungsi rasionalnya untuk hidup damai. Ketika rasional diabaikan, maka manusia akan banyak melakukan kekerasan (Mulyatno, 2010:191).
Konsep Weil tentang refleksi dapat diterapkan dalam konteks dunia yang dilanda peperangan. Dalam situasi konflik, individu dan negara-negara harus mampu melihat perspektif lawan mereka dan mencari solusi yang adil. Dengan mempraktikkan refleksi, mereka dapat menghindari keputusan yang didasarkan pada kepentingan sempit dan mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak.
Di lain pihak, Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman abad ke-18, juga memberikan kontribusi penting dalam pemikiran tentang perdamaian. Dalam karyanya yang terkenal, “Perdamaian Abadi”, Kant mengusulkan konsep perdamaian yang berdasarkan hukum sebagai cara untuk mencapai perdamaian yang langgeng (Formosa, 2022). Kant membuka pemahaman tentang moral setiap individu yang menyatukan pengetahuan tentang subjek dan subjek moral (Yiaueki, 2023:34).
Menurut Kant, perdamaian yang berdasarkan hukum dapat dicapai melalui prinsip-prinsip moral universal yang antikekerasan sehingga hak tiap orang menjadi aman di bawah lindungan hukum (Bernstein, 2013). Ia berpendapat bahwa negara-negara harus hidup berdasarkan prinsip-prinsip moral yang sama, seperti menghormati hak asasi manusia dan menghindari agresi militer yang tidak adil. Dalam konteks ini, hukum internasional dan organisasi internasional seperti PBB dapat memainkan peran penting dalam menciptakan perdamaian yang berkelanjutan.
Konsep Kant tentang perdamaian yang berdasarkan hukum dapat menjadi panduan dalam membangun dunia damai. Dalam situasi peperangan, negara-negara harus mengadopsi prinsip-prinsip moral universal dan menghormati hak asasi manusia. Dengan mengikuti hukum internasional dan bekerja sama melalui organisasi internasional, mereka dapat mencapai perdamaian yang berkelanjutan (Formosa, 2022).
Agar makin lengkap, Thomas Aquinas, seorang teolog dan filsuf abad pertengahan, juga memberikan pandangan yang berharga tentang perdamaian. Dalam pemikirannya, Aquinas mengembangkan konsep keadilan sebagai landasan untuk mencapai perdamaian. Aquinas menggarisbawahi bahwa perdamaian bukanlah kebajikan, tetapi hasil dari upaya cinta kasih karitatif (Page, 2020).
Bagi Aquinas, keadilan adalah prinsip moral yang mengatur hubungan antara individu dan masyarakat. Keadilan memberikan hak-hak yang pantas kepada setiap individu dan memastikan kesetaraan dalam perlakuan. Dalam konteks perdamaian, keadilan menjadi penting karena menciptakan kondisi yang adil bagi semua pihak (Davis, 2017).
Konsep Aquinas tentang keadilan dapat diterapkan dalam konteks dunia yang dilanda peperangan. Dalam situasi konflik, penting bagi negara-negara untuk memastikan bahwa hak-hak individu dan kelompok yang terkena dampak konflik dihormati. Dengan menerapkan prinsip keadilan, mereka dapat menciptakan kondisi yang adil dan membangun perdamaian yang berkelanjutan.
Fakta dan prinsip perdamaian
Dalam menghadapi dunia yang dilanda peperangan, pemikiran filsafat dari Eric Weil, Immanuel Kant, dan Thomas Aquinas memberikan pandangan yang berharga. Konsep refleksi Weil, perdamaian yang berdasarkan hukum Kant, dan keadilan Aquinas dapat menjadi landasan untuk membangun dunia damai. Dengan menerapkan pemikiran-pemikiran ini dalam kenyataan, kita dapat mencapai perdamaian yang langgeng dan mengatasi konflik yang ada.
Faktanya, tidak semua pemimpin dunia, para juru damai, itu memiliki pemikiran jernih soal perdamaian seperti yang telah dipikirkan oleh para filsuf. Dunia saat ini boleh dikata tidak seindah dan seideal mimpi para filsuf di atas. Apalagi para pemimpin dunia dan para juru damai itu sejatinya bukan membawa misi perdamaian, tetapi justru mencari keamanan legitimasi terhadap kekuasaan negaranya agar tidak terimbas oleh keadaan yang tidak damai. Entah benar atau salah, motif mencari perdamaian sudah tidak tulus lagi dari lubuk hati, tapi hanya pamrih untuk membuat diri damai, alih-alih ingin mendamaikan parapihak yang berkonflik. Tapi minimal, ada keyakinan bahwa dalam filsafat politik, orang tidak akan membiarkan segala klaim wewenang dan kekuasaan untuk membenarkan diri (Suseno, 1992). Filsafat politik justru akan memberi tekanan agar kekuasaan politik mendapatkan legitimasi yang normatif dan demokratis demi kebaikan bersama.
Saya punya pandangan, meskipun terkesan agak memaksakan, untuk mengelaborasi konsep dan makna Unum, Bonum, Verum, Pulchrum sebagai dasar untuk menciptakan perdamaian dunia. Konsep ini untuk mewakili sifat transendental dan ke-ada-an manusia sebagai ciptaan (Sihaloho, 1996). Semua yang ada itu satu, baik, benar, dan indah untuk semua ciptaan. Namun sebagai sebuah prinsip, makna dari keempat konsep tersebut dapat diaplikasikan dalam menciptakan perdamaian dunia. Selain itu, pemikiran Weil (Mulyatno, 2010) bisa ditempatkan sebagai himbauan moral di tengah kekerasan. Bagi Weil, memperjuangkan perdamaian adalah sebuah gerakan hidup yang dilakukan oleh individu-individu yang menyadari martabat rasional dan tanggung jawab sosial.
Pertama, mari kita bahas tentang konsep unum. Unum berarti kesatuan atau persatuan. Dalam konteks perdamaian dunia, unum mengacu pada pemahaman bahwa kita semua adalah bagian dari satu umat manusia yang sama. Kita semua memiliki hak dan martabat yang sama, tanpa memandang perbedaan agama, ras, atau budaya. Dalam menciptakan perdamaian dunia, penting bagi kita untuk mengakui dan menghormati kesatuan kita sebagai manusia.
Selanjutnya, konsep bonum mengacu pada kebaikan atau kebajikan. Dalam konteks perdamaian dunia, bonum berarti bertindak dengan niat yang baik dan mengutamakan kepentingan bersama. Untuk menciptakan perdamaian, kita perlu berusaha untuk melakukan tindakan-tindakan yang membawa manfaat bagi semua pihak, bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu. Prinsip bonum mengajarkan kita untuk berempati, saling membantu, dan berbagi dengan sesama. Ini selaras dengan hakikat politik untuk menciptakan tatanan masyarakat demi mencapai kebaikan bersama, kesejahteraan umum (bonum commune).
Verum adalah konsep yang mengacu pada kebenaran. Dalam konteks perdamaian dunia, verum berarti berkomitmen untuk mencari dan menyebarkan kebenaran. Kita harus berusaha untuk memahami dan menghargai perspektif orang lain, serta berkomunikasi dengan jujur dan terbuka. Dalam menciptakan perdamaian, kita menghindari penyebaran informasi palsu atau propaganda yang dapat memicu konflik. Prinsip verum mengajarkan kita untuk mencari kebenaran bersama dan membangun pemahaman yang lebih baik.
Terakhir, pulchrum mengacu pada keindahan. Dalam konteks perdamaian dunia, pulchrum berarti menciptakan lingkungan yang indah dan harmonis. Kita perlu menghargai keindahan alam dan menjaga kelestariannya. Selain itu, kita juga perlu menciptakan keindahan dalam hubungan antarmanusia dengan saling menghormati, menghargai, dan menciptakan kehidupan yang damai. Prinsip pulchrum mengajarkan kita untuk menciptakan keindahan dalam segala aspek kehidupan kita.
Perdamaian ada di mana?
Untuk menerapkan konsep-konsep ini dalam menciptakan perdamaian dunia, diperlukan aksi nyata. Prinsip-prinsip ini harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam interaksi sosial, kebijakan publik, maupun dalam hubungan internasional. Kita perlu berkomitmen untuk menghormati kesatuan kita sebagai manusia, bertindak dengan niat baik, mencari dan menyebarkan kebenaran, serta menciptakan keindahan dalam segala aspek kehidupan.
Dalam konteks ini, kita perlu kembali pada dunia Stoic dan pemuka spiritual, karena sejatinya damai itu berada dalam diri, bukan di luar diri. Paham Stoic mendasari pemikiran tentang cinta diri yang rasional dan perilaku persahabatan, afeksi terhadap sesama. Cinta pada umat manusia melabeli kaum Stoic (Robertson, 2018). Paham yang mengarah pada terciptanya kedamaian hidup didasarkan kendali terhadap segala sesuatu yang dapat kita kendalikan, terutama pikiran dan tindakan kita. Kita tidak perlu khawatir dengan segala hal yang berada di luar kendali kita.
Paham ini melengkapi ajaran spiritual Dalai Lama tentang sikap welas asih (compassion) terhadap sesama. Dalai Lama percaya bahwa perdamaian dunia itu dimulai dari perdamaian di dalam diri sendiri, toleransi, dan welas asih (Press, 2006). Hanya sikap welas asih yang dapat menciptakan kemanusiaan. Proses perdamaian selama ini hanya digerakkan oleh kemarahan dan ketakutan yang ironisnya untuk mencari solusi damai dari dunia yang penuh kekerasan. Maka ia meyakini bahwa filsafat dalam hidupnya hanyalah kebaikan dan welas asih pada sesama.
Tanpa memulai dan memiliki kesadaran individu untuk berdamai dan merasa damai dengan dirinya, mustahil perdamaian tercipta. Itulah sebabnya saya sengaja menggunakan judul provokatif untuk berhenti mencari perdamaian. Perdamaian itu bukan dicari-cari. Tetapi, perdamaian itu diciptakan, dan penciptaan itu harus dari dalam diri sendiri. Ketika para pemimpin dunia atau juru damai itu memiliki rasa aman dan bisa berdamai dengan diri tanpa embel-embel pamrih dan kekawatiran, maka perdamaian niscaya akan terwujud. Damai untuk semua makhluk dan damai di bumi yang makin rapuh ini.
Setelah tercipta perdamaian diri setiap orang, perdamaian dunia dapat diciptakan. Prinsip damai dalam diri ini sangat penting. Prinsip ini mengajarkan kita untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang damai, melalui dialog, negosiasi, dan kerja sama. Kita menghindari kekerasan dan mencari solusi yang adil bagi semua pihak. Prinsip damai mengajarkan kita untuk menciptakan lingkungan yang aman, harmonis, dan sejahtera bagi semua.
Dengan menerapkan konsep unum, bonum, verum, dan pulchrum, dari dalam kesadaran diri, kita menghormati kesatuan kita sebagai manusia, bertindak dengan niat baik, mencari dan menyebarkan kebenaran, serta menciptakan keindahan dalam segala aspek kehidupan. Kita dapat berkontribusi dalam menciptakan perdamaian dunia yang berkelanjutan melalui aksi nyata.***
Referensi
Bernstein, A. R. (2013). War as Means to Peace? Kant on International Right. Jahrbuch Für Recht Und Ethik / Annual Review of Law and Ethics, 21, 237–260. http://www.jstor.org/stable/43594009
Davis, G. S. (2017). Thomas Aquinas on War and Peace. Notre Dame Philosophical Reviews. https://ndpr.nd.edu/reviews/thomas-aquinas-on-war-and-peace/
Formosa, P. (2022, Maret 24). Guide to the classics: Immanuel Kant’s Toward Perpetual Peace and its relevance to the war in Ukraine. The Conversation. https://theconversation.com/guide-to-the-classics-immanuel-kants-toward-perpetual-peace-and-its-relevance-to-the-war-in-ukraine-179943
Gertz, N. (). The Philosophy of War and Exile: from the Humanity of War to Inhumanity of Peace. Palgrave Studies in Ethics and Public Policy.
Mulyatno, C.B. (2010). Berfilsafat sebagai Gerakan Mewujudkan Perdamaian Dunia Menurut Eric Weil . ORIENTASI BARU, VOL. 19, NO. 2, OKTOBER 2010 , pp. 185-200.
Page, J. (2020). Philosophy of Peace. Internet Encyclopedia of Philosophy, https://iep.utm.edu/peace/
Press, C. (2006, September 11). World Peace Begins with Inner Peace: Dalai Lama. His Holiness the 14th Dalai Lama of Tibet, https://www.dalailama.com/news/2006/world-peace-begins-with-inner-peace-dalai-lama
Robertson, D. (2018). Stoicism and The Art of Happiness. Mobius.
Sihaloho, J.R. (1996). Argumen Ontologis Thomas Aquinas. Jurnal Filsafat Mei 1996.
Sonbay, E.A.J. (2015). Etika dalam Mengurus Negara. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Volume 7, Nomor.2, Juni 2015, hlm. 188-195
Suseno, F. M. (1992). Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Penerbit PT Kanisius.
Yiaueki, S. (2023). Action, Meaning, and Argument in Eric Weil’s Logic of Philosphy. Springer.
———————
gambar diambil dari https://www.ndtv.com/india-news/international-day-of-peace-2020-united-nations-theme-know-why-dove-is-a-symbol-of-peace-2298545

Leave a comment