Inspiration

ANAK MUDA PADA “MENTIL” 

Membaca judul itu memang agak mendebarkan. Tapi jangan terpeleset pada konotasi “mentil” bahasa Jawa, yang artinya menyusu ASI. Tapi yang lebih mendebarkan adalah membaca berita akhir-akhir ini tentang kasus bunuh diri di kalangan anak muda di Indonesia sungguh membuat prihatin. Menurut data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI, ada 971 kasus bunuh diri di Indonesia dari Januari hingga Oktober 2023. Kasus itu sebagian menimpa anak muda. Tertinggi ada di Jawa Tengah dengan 356 kasus lalu Jawa Timur 186 kasus. 

Seperti dilansir VOAindonesia, kasus bunuh diri terjadi pada remaja dari tingkat SMP sampai Perguruan Tinggi yang tersebar misalnya di Yogyakarta, Jambi, Makassar, Surabaya, Kediri, Jakarta, Semarang. Kebanyakan kasus bunuh diri itu dipicu oleh depresi karena tidak menemukan jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi. Masalah itu timbul dari persoalan keluarga, kuliah, asmara, pertemanan, sosial. 

Sekarang bahkan ada istilah Orang dengan Kecenderungan Bunuh Diri (OKBD) di sekitar kita. Tekanan biologis, sosial, psikologis, dan kultural bisa saja menjadi pemicu bagi OKBD. Faktor tersebut bisa berupa depresi, keadaan sosial ekonomi yang tidak baik, terjerat hutang, kemiskinan, penyakit kronis, kecanduan obat-obatan, narkoba, atau alkohol. Putus cinta, perundungan, pelecehan seksual, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga bisa menjadi pemicu orang untuk mengakhiri hidup. Jadi kalau ada orang bunuh diri, kita tidak bisa serta merta mengaitkannya dengan masalah agama dan iman. Belum tentu. Ada kasus seorang remaja yang bunuh diri dan di dekatnya ada kitab suci atau benda-benda rohani. Tapi toh bunuh diri itu terjadi juga dan anak itu terkenal rajin ibadahnya.

Fenomena OKBD ini berkaitan dengan generasi strawberry, yaitu remaja yang lahir di akhir 1990-an. Generasi ini dianggap memiliki kreativitas yang tinggi dan melek teknologi. Tapi kualitas mentalnya seperti buah strawberry. Bentuk buahnya menarik dan menggiurkan, tapi gampang layu dan lecet kalau tertekan, dan akhirnya membusuk. Persis dengan generasi remaja sekarang. 

Saya tidak sedang menghakimi semua remaja Generasi Z. Tapi kenyataannya remaja sekarang punya kecenderungan mentalnya gampang rapuh dengan daya juang yang payah. Diberi beban sedikit langsung patah semangat. Diomeli sedikit langsung kena mental. Bahkan ada teman dosen yang berkisah betapa sulitnya mengajar anak-anak Gen Z. Mereka unik dan rapuh. Dibebani tugas kuliah gampang stres. Ditegur saat kuliah, langsung kapok kuliah. Istilah gaul anak-anak Gen Z mereka mentil, mental illness, alias kena sakit mental. Ini sungguh nyata dan ada dalam kehidupan kita saat ini di balik gebyar dan daya tarik dunia maya. 

Berdasarkan survei Gen Z Global 2022, remaja Gen Z yang memelototi media sosial lebih dari dua jam sehari cenderung memiliki kesehatan mental yang buruk. Media sosial memberi dampak negatif terhadap ketahanan mental mereka. Perempuan ternyata lebih rentan terkena mentil dibanding remaja laki-laki. Bahkan sebagian besar perempuan Gen Z mengaku, media sosial memberikan dampak negatif berupa rasa takut tertinggal tren baru atau Fear of Missing Out/FOMO (32 persen), khawatir terhadap citra tubuh (32 persen), dan kepercayaan diri (13 persen). FOMO ini bagaikan pembangkit nafsu anak muda untuk selalu mengejar keinginan bahkan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Alasannya simpel, agar tidak ketinggalan dan dianggap kuno, kudet, kurang update.

Ketika kebutuhan sosialnya akan makanan enak, status sosial, prestise, gengsi, kemewahan, pekerjaan tak terpenuhi, maka mereka terkena mentil. Mereka selalu berorientasi dan membandingkan dirinya dengan dunia luar atau orang lain. Mudah iri tapi tidak tahan banting. Ketika tak kesampaian, mereka mentil lagi. Lalu depresi. Kalau tidak diketahui, atau ditangani, akhirnya bisa mengarah ke usaha bunuh diri. 

Melihat kondisi ini, saya jadi prihatin, dan kadang was-was dengan anak-anak. Meskipun saya percaya bahwa anak membawa karakter sendiri-sendiri. Saya mencoba untuk tahu dunia mereka, bahasa gaul mereka, istilah-istilah aneh yang mereka pakai. Komunikasi dan peka terhadap kondisi mental bisa menjadi modal untuk lebih dekat dengan dunia mereka. Kita orang tua masih harus banyak belajar dan beradaptasi dengan pola didik yang berbeda dengan didikan orang tua kita dulu. Perlu kesabaran dan kerendahan hati orang tua. Ini hanya salah satu cara. Masih banyak upaya lain dari orang tua daripada sekedar menyalahkan dan memberi tekanan yang membuat anak-anak strawberry itu lecet dan membusuk karena mentil.***(Leo Wahyudi S) 


Foto dari https://www.nationalreview.com/2022/06/americas-young-men-in-crisis/

2 thoughts on “Inspiration

Add yours

  1. Wah.. dari awal Mentil ini tidak dikonotasikan ke bahasa jawa, sehingga sejak mulai membawa, aku mencoba menebak apa sih mentil ini? Baru di bagian paragraf di tengah , ketemu yang dimaksud ternyata mental illness.. mas Gundul ki mestinya menyingkatnya dengan mentill (dobel L) biar orang tidak terkungkung di imajinasi nyusu dlm bhs jawanya… hehe
    Salam Mr.Be

    Like

Leave a reply to Leo Wahyudi S Cancel reply

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑