Inspiration

MENCERITAKAN KEBAIKAN ORANG

Saya menjadi malu ketika seorang pemuka agama Buddha, Bhikkhu Sri Pannavaro Mahathera, memberi nasihat. “Kalau saudara mendengar kesalahan, kekurangan, dan keburukan orang lain berapapan besarnya, jangan ceritakan kepada yang lain. Tapi kebaikan orang lain, meskipun sedikit, ceritakanlah pada orang lain. Tetapi kebaikan sendiri, meskipun banyak, jangan cerita kepada yang lain.” 

Nasihat yang indah dan menyejukkan. Tapi membuat muka merah padam, malu, karena saya tidak seperti itu. Saya, dan mungkin Anda, mungkin punya kebiasaan yang berlawanan dengan nasihat bijak tadi. Justru ketika melihat kekurangan, keburukan, dan kesalahan orang lain, kita bernafsu ingin maju, tampil menjadi sumber terpercaya untuk menyebarkannya ke mana-mana. Entah lewat gosip, obrolan, atau lewat tulisan di media sosial kita. Semakin tersebar luas, semakin puaslah kita, karena diakui sebagai sumber A1 pembawa kabar buruk itu. Kita dapat pengakuan sebagai biang gosip. 

Pada saat kita melihat ada orang lain yang melakukan kebaikan, entah sedikit atau banyak, kita pun juga masih nyinyir. Jangankan kebaikan besar, kebaikan sedikit saja tetap kita cari kekurangannya. “Pantes aja si anu berbuat baik pada si anu. Itu kan hanya pura-pura aja biar kelihatan baik. Padahal kau lihat sendiri kangimana kelakuan orang itu,” begitu kira-kira nyinyiran kita. Ada saja kekurangan dan kejelekan dari orang lain meskipun ia telah berbuat baik. Padahal kebaikan orang itu seharusnya kita wartakan ke mana-mana, ke setiap orang yang kita kenal bahwa si anu keren, baik banget, sudah mau menolong si anu

Melihat kecenderungan kelakuan kita semacam itu,  pesan dari gereja untuk mewartakan kasih dan suka cita itu kadang kehilangan maknanya. Mewartakan orang yang dikasihani, orang yang kasihan nasibnya, keluarganya yang berantakan, itu jauh lebih mudah dilakukan. Kita mendapatkan suka cita karena ada kepuasan diri saat mewartakan kekurangan orang lain itu. Entah diakui atau tidak, ini sering terjadi, tanpa disadari.

Giliran kita berbuat baik, padahal sepele, kepada orang lain, kita berkoar-koar, berlagak seolah kita sedang menjadi malaikat penyelamat nasib manusia. Banyak sekali modusnya untuk memamerkan kebaikan diri sendiri. Unggahan di status WhatsApp itu yang paling mudah. Setelah kita memberikan nasi bungkus ke seorang tunawisma demi melakukan kebaikan kecil, lalu difoto, divideokan, dan diunggah, agar dunia tahu bahwa kita orang baik. Unggahan narsis tentang kebaikan diri kita di media sosial sudah sangat mewakili gaya proklamasi kebaikan diri. Padahal kenyataannya mungkin ambyar, kelakuan kita tak sebaik dan seindah unggahan di medsos itu. 

Biksu itu berpesan juga, kalau kita salah, cukup diam untuk menyadari dan memperbaiki kesalahan. Itulah hakikat berpikir positif. Tapi kalau kita masih cinta dengan kebiasaan gosip akan kejelekan dan kekurangan orang lain, kita sedang mengisi pikiran kita dengan hal yang buruk dan buruk. Kalau kita selalu berpikir tentang keburukan dan kekurangan orang lain, justru kita sedang membawa diri kita pada level keburukan dan kekurangan orang tersebut. Lalu, apakah kita masih mau sombong dengan kebaikan kita? Apakah masih layak diunggah di medsos?

Segala hal yang negatif toh tidak akan pernah membuat pikiran kita positif. Maka lebih baik melatih pikiran kita agar belajar melihat sisi baik dalam segala hal atau setiap orang. Berpikir positif adalah pilihan. Mau bahagia atau tidak itu tergantung pada kualitas pikiran kita.***(Leo Wahyudi S)

Foto dari  https://theconversation.com/suka-ambil-selfie-di-lokasi-bencana-pertanda-gangguan-kejiwaan-109716

3 thoughts on “Inspiration

Add yours

Leave a comment

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑