Suatu kali, ada seorang muda berguru kepada seorang Sufi. Sufi itu bertanya kepada anak muda, “Menurutmu, apa yang paling besar di dunia?”
“Matahari, gunung, bumi, lautan,” jawab anak muda.
“Bukan. Yang paling besar di dunia ini adalah nafsu. Banyak orang menjadi celaka karena menuruti hawa nafsunya, entah nafsu akan harta, kuasa, tahta. Segala acara akan dihalalkan untuk mewujudkan impian nafsu duniawi itu. Hati-hatilah, Nak, dengan hawa nafsu itu,” jawab Sufi.
Anak muda itu terdiam, merenungkan jawaban Sufi. Sejenak kemudian, Sufi bertanya kembali, “Nak, menurutmu apa yang paling berat di dunia ini?”
“Gajah, ikan paus, baja, besi, …,” jawab anak muda itu dengan tangkas.
“Bukan. Yang paling berat adalah ‘berjanji’. Banyak orang mengucapkan janji, mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dilakukan dan diwujudkan,” jawab Sufi.
Jawaban Sufi dalam kisah itu mengingatkan saya pada seorang filsuf Italia, Niccolo Machiavelli. Dalam bukunya yang terkenal “Sang Pangeran”, ia menegaskan bahwa untuk mendapatkan kekuasaan, pemimpin politik boleh menghalalkan segala cara. Pertimbangan etika dan moral boleh dikesampingkan demi mencapai tujuan pragmatis. Segala sumber daya diperhitungkan demi mengamankan tujuan politiknya, sekalipun harus menipu dan berlaku licik. Seorang penguasa tidak harus bermoral agar bisa ditakuti, karena ketakutan adalah sarana pengendali yang lebih efektif.
Pemikiran Machiavelli ini menjadi legitimasi para politisi jahat untuk mengejar dan menuruti hawa nafsu kekuasaan. Segala cara dihalalkan demi tujuan politik. Begitu kira-kira pemikiran Machiavelli. Dan, hari-hari ini pengejawantahan pemikiran filsuf Machiavelli pun sudah menjadi realitas sosial dan politik di belahan dunia mana pun, termasuk Indonesia kini.
Saya tidak sedang menyerang seseorang dalam kancah politik Indonesia saat ini. Tapi refleksi ini berlaku umum bagi siapa pun yang sedang ikut berpartisipasi aktif untuk memanaskan suhu politik negeri ini. Orang-orang yang sedang berkompetisi itu sejatinya sedang menanggung beban paling berat, yaitu nafsunya untuk berkuasa. Beratnya pun bahkan mengalahkan gunung atau bumi, kata Sufi yang bijak tadi.
Belum lagi janji-janji manis yang bertebaran di tahun politik. Janji-janji palsu itu bagaikan bunga Sakura yang indah yang hanya mekar selama dua minggu. Puncak keindahan warna bunganya pun hanya berlangsung tiga hari. Kalau boleh saya bilang, keunikan bunga Sakura ini persis dengan janji-janji manis para politisi yang sedang haus kekuasaan. Hanya mekar tiga hari, lalu layu dan gugur ditelan bumi.
Orang-orang bijak akan lari menikmati keindahan janji-janji itu sebagai bagian dari bunga lidah. Karena toh sebentar lagi akan layu seperti bunga Sakura. Celakanya orang-orang yang menjadi baper, terbawa melayang oleh janji-janji surga, niscaya mereka akan jatuh dalam kekecewaan yang teramat dalam. Mereka hanya akan meratapi guguran janji berbunga-bunga yang layu dilahap bumi.
Kalau saya jadi sufi, saya menyarankan supaya kita menjadi yang paling bijak saja. Karena orang yang bijak masih memiliki moral dan etika dalam setiap tindakan dan ucapan. Orang bijak seperti Steve Jobs, pendiri Apple, bilang, waktu kita itu terbatas. Jangan menyia-nyiakan waktu untuk hidup dalam kehidupan orang lain. Dengan kata lain, tidak usah membuang energi dengan memikirkan para politisi yang haus kekuasaan. Tapi, jangan juga antipolitik, karena kita semua punya hak politik untuk mewujudkan kebaikan bersama.***(Leo Wahyudi S)
Foto dari https://www.prolegalnews.id/Menu-Berita/Opini/Menghalalkan-Segala-Cara-Demi-Satu-Tujuan.html

Aku blm baca bukunya marchiavelli, tapi kesimpulan bahwa dia menghalalkan segala cara, kurasa juga kurang pas.. menurutku dia hanya mengatakan yang paling penting adalah tujuan yg baik. Ini tidak berarti cara memperoleh tujuan boleh sembarangan.. piye ndul? Mr.Be
LikeLike