Inspiration

BERBUAT BAIK SEOLAH SEDANG NYALEG

Di musim persiapan pesta demokrasi dan suhu politik yang mulai menghangat, saya tergelitik dengan sebuah foto kiriman di WhatsApp. Ada orang memakai kaos bertuliskan “Teruslah berbuat baik sampai orang mengira kamu nyaleg”. Saya tersenyum geli. Cerdas sekali orang yang membuat desain kaos itu. 

Perhelatan demokrasi akbar negeri ini sudah menjelang. Tahun 2024 ada pemilihan presiden, wakil presiden, legislatif, dan kepala daerah. Orang-orang yang memiliki modal politik sudah beramai-ramai mengeluarkan segala sumber daya dan dana untuk membiayai pesta itu. Semua berlomba dalam kompetisi sengit untuk meraup suara dari para pemilih. 

Suhu politik pun mulai memanas dengan persaingan para calon yang sibuk ke sana ke mari demi meraih dukungan. Meskipun memanas, ada yang boleh dibilang tetap adhem (sejuk), yaitu ketika para calon pemimpin itu tiba-tiba memakai topeng malaikat yang bermulut manis, ringan tangan, murah hati, baik hati, tidak sombong, penuh perhatian. Sepertinya ada pertobatan massal di mana-mana, terutama dari para calon itu.

Duit dihambur-hamburkan dengan kemasan sedekah, bantuan, bantuan sosial, sembako murah, pengobatan gratis. Mulut para calon pemimpin itu pun tak pernah berhenti senyum saat ketemu dengan rakyat jelata. Tak ada rasa risih, geli, jijik, sekalipun harus turun ke pasar, ke perkampungan kumuh, perkampungan nelayan yang amis. 

Gegara nyapres, nyaleg, nyagub, nyabup, nyalon kepala desa, nyalon lurah, dan nyalon lainnya, orang berlomba-lomba berbuat baik. Tapi benarkah kebaikan itu tulus? Tidak ada makan siang gratis. Semua pasti ada hitungannya dalam politik. Kebaikan itu transaksional. “Gua beri, gua dapat suara lo ntar.” Begitu kira-kira pola pikir politik transaksional. Kebaikan diperjualbelikan sehingga menjadi komoditas laris di masa menjelang pemilu. Hubungan antara calon pemimpin dan calon pemilih itu selalu berpamrih. Mumpung nyaleg, maka itu jadi kesempatan untuk “pura-pura” baik. Wajar kalau ada desain kaos bertulisan satir tadi. 

Tak heran kalau beberapa hari lalu, para mahasiswa yang masih idealis dan kritis, di Bogor melakukan operasi pembersihan baliho dan spanduk para calon pemimpin. Baliho-baliho itu menjadi sarana untuk pencitraan, lengkap dengan gelar akademis, jabatan, dan janji-janji kosongnya. Anak-anak muda itu rupanya muak dengan janji-janji politis yang kebanyakan bohong karena setelah mereka lolos dan duduk manis jadi pemimpin, mereka tiba-tiba terkena sindrom lupa diri dan lupa ingatan.

Menurut saya, sebagai warga negara yang baik, kita hanya perlu menyadari, bahwa kita bagian dari suatu negara dengan tatanan politik. Sistem politik itu ada karena menjadi tatanan hidup bersama untuk mencapai kebaikan bersama. Kita wajib ikut serta ambil bagian dalam proses menuju kebaikan bersama. Apa pun pilihan dan preferensi partai politik. Kita punya hak politik. Suara kita ikut menentukan masa depan bangsa. Kalau kita diberi perlakuan baik, terima saja. Soal pilihan adalah nurani diri sendiri sebagai seorang warga negara yang baik. 

Negara ini selalu butuh pemimpin agar tatanan politik berjalan demi kebaikan bersama. Anggap saja hubungan kita dengan para calon pemimpin dan partai politik itu sebagai hubungan yang transformasional, bukan transaksional. Teruslah berbuat baik pada sesama, meskipun Anda tidak nyapres, nyaleg, nyagub, nyabup. Kebaikan takkan kalah dengan kepalsuan dan kemunafikan. Peluang berbuat baik selalu terbuka, tidak hanya di musim pemilu.***(Leo Wahyudi S)

Foto dari https://korankaltim.com/berita-terkini/read/18270/jengah-janji-caleg-seperti-ini-warga-protes

One thought on “Inspiration

Add yours

Leave a reply to Anonymous Cancel reply

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑