Saya baru ketemu istilah “gamon” kemarin dari anak perempuan saya. Saya awalnya bingung ketika ia menggerutu soal temannya yang “gamon”. Ternyata setelah saya tanya, dia malah mengatakan, “Ayah ni kudet (kurang update). Gamon itu gagal move on.” Lucu dan kreatif kalau mengamati anak-anak Generasi Z sekarang. Banyak jargon dan istilah yang mereka ciptakan sendiri.
Ia jengkel dengan temannya yang gamon lantaran cintanya tak berbalas dengan gadis yang ia taksir. Dalam kasus ini, mungkin si cowok ingin membuktikan cintanya dengan keteguhannya untuk tetap naksir, sekalipun tidak atau belum berbalas. Tapi dalam pandangan anak saya, cowok itu gagal move on untuk pindah ke lain hati. Sampai-sampai ia menutup mata dengan gadis remaja lain yang menaruh hati pada cowok itu. Saking gamonnya mungkin.
Dalam circle pergaulan saya, banyak orang yang gamon. Ada kawan-kawan yang setia menunggui kenangan masa lalu yang indah bersama almarhum suaminya. Saking asyiknya, mereka rela dan setia dengan masa lalunya yang sudah tak nyata itu hingga detik ini. Mereka bahkan lupa menikmati segala dinamika dan berkah yang mereka terima saat ini. Mereka selalu berkilah bahwa sudah membuka diri dan hati untuk siapapun yang menaruh hati. Tapi, masa lalu rupanya lebih indah untuk dinikmati, sampai mereka membutakan diri pada orang-orang yang memberi hati dan cinta. Masa lalu membutakan mata hati saat ini.
Ada pula kawan yang gamon karena selalu menikmati dendam dan sakit hati masa lalu. Memang ia pernah disakiti oleh seorang yang mengaku sahabat. Sayang, sakit hati yang ia rasakan sampai tak menyisakan ruang untuk memaafkan sahabatnya itu. Alhasil, sampai detik ini ia sungguh menikmati sakit hati itu. Ia tak mau kenal lagi dengan sahabat dan saudara lamanya. Tanpa disadari ia telah menutup mata hati terhadap kebaikan-kebaikan yang selalu menghampiri hidupnya setiap hari.
Ada kawan yang sakit hati dengan atasan atau bos di tempatnya bekerja dulu yang masih sangat membekas. Hingga kini ada kawan yang setiap kali ketemu selalu memutar data sakit hati itu di harddisk otaknya. Ocehannya tak pernah maju dan optimis melihat peluang. Isinya hanya curhatan masa lalu yang sudah usang. Ironisnya, mantan bosnya tak pernah merasa menyakiti anak buahnya hingga kini. Mungkin itu sudah jadi bagian dari panggilan hidupnya, yaitu untuk menyakiti orang lain. Intinya, mantan kolega kantor saya itu gamon total dalam hal pekerjaan.
Banyak contoh orang-orang gamon. Banyak lelucon satir berseliweran di media sosial tentang karakter istri dan perempuan yang tak pernah mengakui kesalahan, apalagi minta maaf pada pasangannya. Saya awalnya tertawa melihat unggahan semacam itu. Tapi, setelah saya renungkan memang ada benarnya. Seorang istri atau perempuan, dalam hal sakit hati, atau kecewa, itu seperti kaset kusut yang selalu siap diputar kapan pun di mana pun. Kesalahan pasangan diungkit dan diputar terus. Ia menikmati nostalgia kekecewaan dan sakit hati pada pasangannya. Saya tidak sedang mendiskreditkan perempuan, tetapi saya menyimpulkan dari banyak kisah para suami tentang pasangannya yang gamon. Memaafkan itu tidak ada dalam kamus para istri. Kesalahan terekam tebal dalam otak yang siap diputar setiap saat.
Orang-orang yang hidup dengan trauma pada hakikatnya adalah orang gamon juga. Saya sendiri punya trauma dengan kolam renang yang dalam hingga kini. Saya bisa berenang. Tapi pengalaman mau mati tenggelam di pinggir kolam sedalam tiga meter pada masa remaja masih terekam dengan jelas. Tanpa sadar saya belum beranjak dari trauma itu. Apalagi ketika saya berada di pinggir kolam yang dalam. Saya benar-benar gamon dengan urusan berenang.
Kalau orang terhenti pada suatu tempat atau seseorang di masa lalu, maka hidupnya akan menderita dan menularkan penderitaan pada orang lain, kata seorang guru India. Orang gamon sesungguhnya sedang menciptakan penderitaan, menjauhkan diri dari kebahagiaan. Mereka lupa bahwa hidup sesungguhnya adalah saat ini sekarang ini ketika kita bernafas, bergerak, berpikir, merasakan suasana saat ini.
Sejatinya hidup itu dinamis dan selalu bergerak. Orang gamon itu anti-perubahan. Mereka sudah kecanduan dengan masa lalu yang indah dan sakit untuk dinikmati. Tak heran pintu berkah selalu tertutup bagi orang gamon. Atau setidaknya terbuka sedikit. Itu pun karena ada angin yang menghembusnya, bukan kesadarannya yang membuka pintu hatinya. Apakah Anda termasuk kaum gamon? Mari kita jujur dengan diri sendiri.***(Leo Wahyudi S)
Foto dari https://www.idntimes.com/life/relationship/pak/saran-psikolog-untuk-move-on-c1c2

Leave a comment