Saya terpana melihat sebuah tayangan di televisi yang menggambarkan kondisi anak-anak yang mau sekolah di banyak wilayah di Indonesia. Ada anak-anak kecil dengan seragam putih merah berdiri menunggu antrean untuk diseberangkan. Lantaran tidak ada jembatan penghubung dua desa yang layak, maka hanya ada sebatang pohon kelapa yang melintang di atas sungai berarus sangat deras.
Beruntung ada pemuda-pemuda desa yang baik hati yang menjadi relawan untuk menggendong satu per satu anak-anak kecil itu agar bisa meniti jembatan sebatang pohon itu ke seberang sungai. Rasanya miris dan tak percaya melihat kenyataan itu. Ada ketimpangan pembangunan infrastruktur yang sangat jauh bedanya antara pelosok dan kota.
Di tayangan lain, saya melihat seorang anak dengan seragam putih merah menaiki sebuah ember bulat besar yang cukup menampung tubuh mungilnya. Ia mendayung ember itu demi bisa menyeberangi sungai. Kembali rasa miris dan prihatin itu muncul. Demi pendidikan, anak-anak kecil itu sudah berjuang antara hidup dan mati dalam arti sesungguhnya. Bukan hanya slogan untuk anak-anak sekolah di kota tentang “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian.” Anak-anak di pelosok yang kurang beruntung menjalani hal itu demi sekolahnya.
Di tayangan lain, para crazy rich, orang-orang super kaya dan tajir, berlomba pamer kekayaan dan hartanya. Ada yang pamer rumah bak istana Raja Sulaiman. Ada yang pamer emas berkilo-kilogram beratnya ditempel di badan semua. Ada yang pamer cincin berlian di sepuluh jari tangannya. Ada yang pamer mobil sport termahal, tapi tidak bisa dipacu di jalanan Jakarta. Ada yang pamer duit bergepok-gepok di rumahnya. Ada yang pamer pesta mewah untuk anaknya yang masih bayi dan belum tahu artinya harta. Ada yang pamer makan enak yang harganya berjuta-juta, padahal di kaki lima hanya puluhan ribu.
Media menjadi sarana terhebat untuk menebarkan pamer harta, atau istilah kerennya flexing, Apalagi media sosial. Ini sarana terdahsyat untuk menyampaikan flexing dengan sukses. Pengertian flexing menurut Urban Dictionary, flexing adalah tindakan menyombongkan diri tentang hal-hal yang berhubungan dengan uang, seperti berapa banyak uang yang kita miliki atau barang mahal apa saja yang kita koleksi.
Tak usah jauh-jauh memandang crazy rich yang suka flexing, kita pun dalam skala kecil juga senang pamer. Pamer sepatu baru, tas baru, motor baru, mobil baru, gebetan baru, rumah baru. Kita pun selalu disuguhi orang-orang yang suka pamer. Jadi, kehidupan sekarang ini seolah menjadi ruang dan ajang pameran raksasa. Saya sendiri juga termasuk yang suka pamer, pamer tulisan-tulisan.
Orang-orang yang memiliki kekayaan fantastis kadang memiliki hasrat yang tak selesai dengan kekayaan dan harta yang dimiliki. Mereka ingin melaporkan apa yang mereka punya melalui budaya flexing ini. Tujuannya apa? Hanya ingin dapat pengakuan sebanyak-banyaknya. Berarti ada rasa tak percaya diri. Untuk menambal kekurangan itu ya pakailah pamer kekayaan, agar bisa diakui dan dikagumi. Dengan flexing, mereka ingin membuat orang lain terkesan lalu memberi pujian dan decak kagum.
Sahabat saya, Ali, pernah membagikan cerita kepada saya. Cerita itu ia peroleh saat pengajian di suatu tempat. Ketika itu ada jamaah yang bertanya, “Pak Ustadz, apa benar musik itu haram?”
Kemudian Pak Ustadz menjawab, “Sesungguhnya musik yang haram itu ialah ketika irama sendok garpumu ketika makan terdengar sampai ke tetanggamu yang sedang kelaparan.”
Dalam sekali makna jawaban Pak Ustadz ini. Apalagi ketika dikaitkan dengan budaya flexing dewasa ini. Orang-orang kaya yang suka pamer harta itu seolah sedang memainkan sendok dan garpu emas mereka senyaring-nyaringnya. Jangankan memegang sendok dan garpu, makanan pun tak ada. Masih banyak orang yang tidak bisa makan di luar sana. Masih banyak anak-anak muda generasi bangsa yang kesulitan mengakses pendidikan. Bahkan Badan Dunia melaporkan ada lebih dari 700 juta orang yang mengalami atau terdampak kelaparan pada 2021. Angka itu bisa bertambah tahun ini di tengah dampak perubahan iklim dan kekeringan.
Mengapa mereka tidak flexing ketika memberi bantuan untuk membangun jembatan di sebuah pelosok di Sulawesi sana? Mereka bisa menyumbangkan 100 gram emas, atau dana untuk beli marmer, atau biaya bengkel mobil sport mereka demi membeli besi-besi untuk membangun jembatan, atau membelikan perahu dayung yang kecil. Atau, mereka bisa menyumbangkan dana yang sedianya untuk membeli sepeda mahal demi menyumbang sembako ke orang-orang miskin yang belum tentu sehari bisa makan sekali.
Saya kira budaya flexing akan berakhir kalau para crazy rich itu bangkrut, atau disita, atau terkena kasus pidana korupsi atau pencucian uang. Lalu mereka disuruh belajar meniti jembatan sebatang pohon di atas sungai berarus deras setiap hari. Atau, mereka disuruh belajar untuk makan seadanya bersama para pemulung sampah. Semoga para pelaku flexing mendapat hidayah sebagai manusia yang memiliki empati sosial.***(Leo Wahyudi S)

Leave a comment