Belakangan ini banyak berita-berita miris yang menjadi tragedi kemanusiaan. Harkat dan martabat manusia seolah sirna. Pangkalnya adalah keirihatian. Tak heran jika Iri dan dengki menjadi salah satu dari tujuh dosa mematikan. Hanya karena iri tak punya motor, tak punya telepon genggam, nyawa orang lain dihabisi. Hanya karena iri, sebuah keluarga dibakar. Hanya karena iri pada kecantikan, seorang sahabat disiksa.
Ada lagi cerita yang lebih moderat dari berita-berita tragis di atas. Ada seorang wanita yang hidup dalam kemewahan karena dimanja suaminya dengan uang dan harta. Hidupnya penuh dengan kemewahan dan pemborosan sia-sia. Semua dilakoni demi membeli pujian, pengakuan, dan kesetiaan semu dari teman-temannya. Padahal teman-teman belian itu sesungguhnya hanya menjadi benalu pemuas syahwat pengakuan dari si wanita tadi.
Meski hidup bergelimang harta, tapi hidup wanita itu tetap menyusahkan suami dan anak-anaknya. Cinta diri berlebihan dan mabok pujian itu membuat hidupnya makin sempit, sesempit egoismenya. Hidupnya penuh dengan iri hati dan dengki. Ia tak pernah berhenti membandingkan dengan apa yang dimiliki orang lain. Ia merasa harus bisa memiliki apa yang dimiliki orang lain, apalagi orang yang dianggap menjadi saingannya dalam pergaulan sosialita. Ia akan menjadi gelap mata untuk memaksa suaminya untuk menuruti keinginannya. Kalau tidak dipenuhi, maka kemarahan akan membuatnya nekat melakukan apa pun sekalipun itu harus menghancurkan suami dan anak-anaknya. Iri hati merupakan emosi penghancur kehidupan. Tak heran jika wanita itu selalu merasa menderita, penuh amarah, kebencian, dan terus merasa kurang. Hidupnya penuh harta, tapi hatinya kosong.
Kadang tanpa disadari kita juga dihinggapi rasa iri hati itu. Ketika melihat tetangga, saudara, atau teman yang bisa membeli kendaraan atau rumah baru, ada terbersit rasa iri. Kok dia bisa ya, padahal pekerjaan dia kan cuma anu. Ketika anak orang lain berprestasi, muncul rasa iri. Kok bisa sih, padahal anaknya kan kuper dan tak pernah gaul. Dan, beragam penilaian bercorak iri hati yang membuncah dalam benak kita.
Akar dari rasa iri hati muncul saat kita mulai membandingkan dengan sesuatu atau orang lain. Membuat perbandingan dengan orang lain hanya membuat kita buta terhadap apa yang sudah kita miliki. Dengan membandingkan, berarti kita tanpa sadar telah memandang rendah diri kita dan kemampuan kita. Kita menjadi lupa bahwa kita semua berbeda. Dengan perbedaan-perbedaan itulah diri kita menjadi istimewa. Itulah indahnya melihat perbedaan.
Tak heran jika seorang ilmuwan, Harold Coffin, pernah mengatakan bahwa iri hati itu merupakan seni untuk menghitung berkah orang lain. Bukan berkah yang diterima sendiri. Saat kita membandingkan lalu muncul rasa iri hati, maka kita sedang mengamati, mencurigai, dan menghitung berkah yang dimiliki orang lain. Kita sendiri lupa kalau sudah menerima berkah kehidupan yang tak kalah hebat dari orang lain.
Tak ada damai dalam hati dan pikiran orang yang kebak dengan rasa iri. Yang timbul hanya kemarahan, kebencian, dan permusuhan. Bahkan motif iri sering berakhir pada pembunuhan. Betapa mengerikan virus iri hati ini. Tak ada damai di hati orang yang penuh rasa iri dan dengki.
Membandingkan diri sendiri dan apa yang kita miliki dengan orang lain merupakan alat tercanggih untuk penghancuran diri. Maka, kalau mau bahagia dan bebas dari rasa iri, kita harus berhenti membandingkan. Nikmati dan syukuri apa yang ada dan yang kita miliki saat ini.***(Leo Wahyudi S)

Supeeer
LikeLike
terima kasih banyak
LikeLike