Inspiration

MENERIMA DENGAN TULUS

Saya tak pernah lupa dengan pengalaman yang dialami oleh seorang suami yang berakhir cukup tragis. Suatu hari, pada saat ekonomi keluarganya sedang minus, istrinya jatuh sakit. Dipikirnya hanya sakit biasa saja. Karena sakit biasa, ia pun bebas melenggang ke sungai untuk menyalurkan hobi memancingnya. 

Di luar dugaan, sakit istrinya makin parah. Itu pun karena tetangga yang peduli dan mengetahui keadaannya. Atas saran tetangga, suaminya disuruh membawa istrinya ke rumah sakit. Namun sang suami menolak lantaran itu hanya sakit biasa yang sering dialami istrinya. Tapi para tetangga tahu kalau itu bahasa halus untuk menutupi bahwa ia tak punya biaya untuk berobat.

Akhirnya para tetangga yang baik itu pun segera berinisiatif untuk membawa ke rumah sakit sang istri. Ternyata keadaan istrinya sudah memburuk. Tak selang berapa lama, istrinya pun menghembuskan nafasnya yang terakhir. Semua orang kaget dengan kejadian itu. Apalagi suami dan anak-anaknya. Mereka tak menyangka akan secepat itu sang istri meninggal karena telat penanganannya.

Singkat cerita, semua orang akhirnya menyalahkan sikap suaminya selama ini. Gegara kesombongan dan keangkuhannya untuk menerima keadaan keluarganya, akhirnya jatuh korban sia-sia. Seandainya waktu boleh diputar, maka sang suami akan berjiwa besar untuk mengakui bahwa ia tak punya biaya berobat. Ia akan mengakui bahwa ia keluarga kurang mampu. Ia akan mengakui bahwa banyak orang yang peduli kepada keluarganya. Sayang, faktanya tak sebagus itu. 

Selama ini, sang suami memang dikenal ringan tangan dan suka memberikan tenaganya. Namun soal imbalan, ia terlalu sombong untuk menerimanya. Dalam banyak kasus, sang suami tak pernah mau menerima pemberian dari orang lain, sekalipun itu upah dari keringatnya. Padahal anak dan istrinya kadang tidak punya uang untuk makan. Intinya suami itu sudah terkenal sombong dan angkuh untuk menerima bantuan dan belas kasih dari orang lain. 

Dalam kehidupan, kita lebih mudah memberi daripada menerima. Kecuali orang bermental miskin dan pelit, maka akan lebih mudah meminta dan menerima daripada memberi. Tapi kisah itu menggambarkan betapa orang itu hanya mau memberi, tanpa pernah mau menerima pemberian orang lain, apapun wujudnya. Pemberian seolah dianggap merendahkan harga dirinya. Ia selalu merasa tak layak dikasihani, padahal kehidupan keluarganya mengundang belas kasihan dari orang lain. 

Ternyata, saya pun kadang mengalami sendiri. Menerima itu lebih sulit daripada memberi. Menerima itu serasa melukai ego, keperkasaan, kehebatan diri. Seolah pemberian itu sebuah pentungan yang memukul kaki kita untuk berlutut dan menyerah. Perlu kerendahan hati, ketulusan, keiklasan untuk menerima. 


Entah besar atau kecil nilai suatu pemberian, makna pemberian adalah sesuatu yang diberikan secara cuma-cuma yang dikirimkan oleh Sang Empunya saat kita memerlukannya. Tugas kita hanyalah menerima pemberian itu dengan tulus, rendah hati, dan penuh rasa terima kasih. Saya yakin, semakin kita tulus menerima sesuatu, semakin kita menerima lebih. Akan selalu datang pemberian demi pemberian berikutnya bagi mereka yang punya hati tulus dan rendah hati. 


Sebaliknya, semakin kita tidak bersyukur, apalagi angkuh dan meremehkan pemberian, semakin habislah yang kita miliki. Pemberian itu tidak akan datang untuk kedua kalinya, di hati yang penuh kesombongan. Cukup hanya sekali lalu pergi dan takkan pernah kembali. Sikap sombong untuk menerima ternyata menutup pintu rejeki dan berkah. Itulah faktanya.***(Leo Wahyudi S)

Foto diambil dari https://sumsel.tribunnews.com/2021/04/29/6-golongan-paling-berhak-menerima-sedekah-dalam-islam-ternyata-berbeda-dengan-penerima-zakat

2 thoughts on “Inspiration

Add yours

Leave a comment

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑