PENJARA DIGITAL DI BALIK SURGA TEKNOLOGI
Hidup kita dikelilingi bahkan lama kelamaan dikuasai oleh teknologi digital dan internet. Entah lewat sistem yang dikembangkan Google dengan Androidnya, atau Apple dengan iOSnya. Saya terusik oleh unggahan sebuah akun @alekgerung di Instagram yang mengulas fakta bahwa kita sesungguhnya bukan konsumen dari teknologi, tetapi dijadikan produknya.
Harus diakui saat ini kita hidup di era yang sering disebut sebagai surga teknologi. Sesulit apa pun teknologi digital solusinya. Mungkin itu slogan yang bombastis, tapi nyata. Dengan satu sentuhan jari, dunia ada di genggaman kita. Informasi melimpah, komunikasi tanpa batas, hiburan tak ada habisnya. Namun, pernahkah Anda merasa bahwa di balik kemudahan ini, ada sesuatu yang menahan kita? Bahwa surga ini bisa jadi adalah penjara digital?
Apakah kita sadar bahwa ke mana kita pergi, apa yang kita foto, siapa yang terhubung, apa yang kita buka, apa yang kita dengar, kita tonton, kita tuliskan, termasuk lokasi kita semua terekam dengan baik di sistem para raksasa teknologi digital itu. Padahal ada embel-embel bahwa privasi kita dilindungi. Tanpa sadar kita sudah didikte, semua privasi dikuasai. Mulai dari kata sandi, sidik jari, identifikasi muka, dan belakangan identifikasi retina mata, semua jadi bukti bahwa perlahan tapi pasti, teknologi itu menguasai kehidupan pribadi kita.
Bayangkan sejenak. Berapa banyak waktu yang Anda habiskan menatap layar setiap hari? Berapa banyak keputusan yang Anda serahkan pada rekomendasi algoritma? Dari berita yang kita baca, hingga hiburan yang kita nikmati, bahkan teman-teman yang kita ajak bicara, semuanya sering kali dimediasi oleh teknologi. Kita merasa terhubung, tetapi ironisnya, sering kali justru semakin terasing dari diri sendiri dan dunia nyata. Belum lagi kalau pusing, merasa sendirian, kita bisa curhat pada chatbot AI. Sebuah robot yang seolah bisa menerima dan memberi masukan saat kita curhat.
Penjara digital ini tidak berjeruji besi, melainkan terbuat dari notifikasi yang tak henti, umpan media sosial yang tak berujung, dan aplikasi yang dirancang untuk membuat kita terus kembali. Kita secara tidak sadar terperangkap dalam lingkaran konsumsi digital, di mana perhatian kita adalah mata uang yang paling berharga. FOMO (Fear of Missing Out) menjadi cambuk yang mendorong kita untuk terus online, takut kehilangan momen, takut ketinggalan. Padahal kita mungkin kehilangan momen di kehidupan nyata. Kehilangan momen dengan orang-orang yang kita cintai yang selalu di sekeliling kita.
Namun, ini bukan berarti kita harus membuang semua gawai dan kembali ke gua. Kesadaran adalah kunci untuk membebaskan diri dari penjara ini. Hal yang paling mungkin adalah dengan menyadari kebiasaan digital kita. Berapa banyak waktu yang benar-benar Anda butuhkan untuk scrolling? Apakah notifikasi itu benar-benar sepenting itu? Apakah telpon itu sepenting pejabat tinggi sampai-sampai menelepon sambil berkendara tanpa peduli keselamatan orang lain?
Sudah saatnya kita merebut kembali kendali atas teknologi. Tentukan batasan waktu layar, hapus aplikasi yang tidak penting, dan sesekali lakukan “detoks digital”. Fokuskan kembali energi Anda pada interaksi tatap muka, membaca buku fisik, atau sekadar menikmati keindahan alam tanpa gangguan notifikasi.
Surga teknologi seharusnya menjadi alat untuk memberdayakan kita, bukan mengikat kita. Mari kita gunakan teknologi dengan bijak, bukan sebaliknya. Jadikan gawai sebagai penunjang kehidupan, bukan pusatnya. Karena kebebasan sejati bukan terletak pada jumlah like atau follower, melainkan pada kemampuan kita untuk menjalani hidup dengan penuh kesadaran dan kehadiran. Anda punya kekuatan untuk membuka pintu penjara digital ini. Sudah siapkah Anda melangkah keluar? Yuk, sadar yuk!***
Foto dari https://stockcake.com/i/digital-prison-awaits_1491029_1166559

Leave a comment