MANA LEBIH BESAR, IMAN ATAU KERAGUAN?
Saya perlu menulis di awal bahwa saya bukan pakar spiritual, pakar teologi, pendakwah, pengkotbah, atau pendoa. Tulisan saya ini murni berangkat dari pengalaman hidup sehari-hari yang saya tambahi dengan makna. Itu saja.
Ketika bicara soal iman, ingatan kolektif kita pasti akan merujuk pada soal pengajaran agama dan keyakinan. Memang benar, tapi saya tidak akan mempersempit persoalan iman dalam konteks agama apa pun. Dalam konteks agama, iman seringkali diartikan sebagai kepercayaan akan Tuhan atau kekuatan supernatural lainnya. Namun, iman juga dapat diartikan dalam konteks yang lebih luas, seperti kepercayaan akan kebenaran, keadilan, atau kemanusiaan. Tapi dalam hal ini, iman saya beri makna luas sebagai sebuah keyakinan atau kepercayaan yang dilandasi sebuah kesadaran.
Iman menjadi sistem mental yang positif untuk meyakini dan mempercayai kekuatan atau kebenaran yang kadang tidak kelihatan. Untuk urusan ini saya harus belajar banyak pada ibu saya. Dalam kesehariannya, Ibu saya yang janda masih mengurus sawahnya. Saya tahu Ibu mengurus sawahnya tidak hanya secara material, tetapi juga spiritual. Ia membeli menyiapkan lahan, mengolahnya, menyiapkan benih padi, memupuk dan merawatnya hingga panen tiba. Dalam setiap proses dari awal hingga akhir Ibu saya selalu membawa imannya. Ia percaya bahwa Tuhan akan memberinya rezeki dan padi yang bisa menghidupinya.
Saya selalu belajar beriman sederhana dari Ibu. Tapi nyatanya beriman yang benar itu tidak semudah yang diomongkan. Percaya dari dalam hati itu sulit. Kalau pun bisa percaya, umurnya mungkin tidak sampai satu detik saja. Coba saja kalau tidak percaya. Misalnya, Anda mengatakan, “Tuhan baik banget kepadaku.” Kita mengucapkan kata itu dengan penuh keyakinan. Rasanya demikian. Tapi, tiba-tiba terlintas sedikit dan sekejap, “Ah, masak sih?”, “Tapi, bosku nyatanya tidak ramah”, “Tapi, kelakuan orang itu menjengkelkan,” “Ah, apa iya?”, dan sebagainya.
Lintasan-lintasan sekelebat, atau seper sekian detik itulah yang disebut keraguan. Keraguan itu muncul dari pikiran sadar yang hanya melihat realitas, kenyataan dunia luar seperti yang kita lihat, dengar, rasakan. Keraguan itulah yang membuat iman tidak lagi bulat, utuh, dan kuat. Iman menjadi runtuh saat keraguan menyelinap sekelebat.
Saya tidak terlalu yakin praktik keberimanan Anda tetap utuh. Keraguan itu muncul kadang tidak seketika saat kita meyakini sesuatu. Keraguan itu bisa muncul saat kita menjalani sebuah proses yang sudah kita yakini sebelumnya. Kita yakin sekali bahwa perjalanan kita akan dilindungi. Tapi di tengah jalan kita mengalami masalah, ban bocor misalnya. Mungkin iman yang tadi kita yakini akan runtuh, dan berganti dengan misuh(umpatan).
Itulah sebabnya saya menulis, mana yang lebih besar, iman atau keraguan. Karena dalam praktik keseharian kita, entah diakui atau tidak, keraguan kita lebih mendominasi keyakinan atau iman kita. Ketika kita yakin Tuhan memberikan kekuatan, kita justru diberi beragam masalah. Iman pun bergeser karena keraguan muncul. Padahal, kalau memang mengaku beriman, saat kita minta kekuatan, justru Tuhan mengabulkannya melalui masalah-masalah yang muncul agar kita bisa kuat.
Saya belajar dari Ibu saya. Ketika menanam benih padi, ia tidak akan datang setiap jam, setiap hari untuk mencongkel dan membuktikan apakah padi sudah tumbuh, apakah akarnya sudah keluar, apakah padinya pula berbuah. Ia membiarkan proses benih padi itu tumbuh dengan kekuatan yang tak terlihat hingga ia menjadi padi yang berisi yang siap dipanen. Tugasnya hanya meyakini dan merawati tanamannya setiap hari.
Orang yang punya iman akan mempercayai kekuatan yang tak kelihatan dari Tuhan atau semesta. Ia punya hukumnya. Kita hanya menguatkannya dengan iman. Dialah yang akan memenuhi keyakinan kita hingga jadi kenyataan. Syaratnya, kita harus kokoh memegang keyakinan itu. Itulah iman.
Sebaliknya, saat kita gagal, itu pun adalah jawaban setimpal atas keraguan kita. Kegagalan adalah buah dari keraguan, kekuatiran, dan ketakutan kita sendiri. Iman yang dikalahkan oleh keraguan hanya membuahkan kegagalan. Di saat seperti itu, kita merengek-rengek, “Tuhan, mengapa doaku tak pernah Kau kabulkan?” ***
Foto dari https://www.alamy.com/stock-photo/doubt-and-faith.html?sortBy=relevant

Leave a comment