Judul ini terkesan ironis. Masak kebaikan dilupakan. Tapi itulah pelajaran yang saya petik dari seorang ulama moderat terkemuka Buya Syakur. Dalam salah satu kajiannya ia mengatakan agar kita jangan pernah mengingat-ingat kebaikan yang pernah kita lakukan.
“Ketika kebaikan-kebaikan yang pernah kau lakukan itu masih kau ingat dalam pikiranmu, itu pertanda kebaikanmu belum diterima oleh Alloh. Kebaikan-kebaikanmu itu masih di atas meja, belum masuk laci. Jadi kapan-kapan bisa diambil oleh pembantu dan dibakar,” Buya berkelakar.
Saya sangat hormat dan selalu tertarik dengan kajian-kajian yang dibawakan oleh Buya Syakur. Buya Syakur adalah seorang ulama moderat, profesor, sekaligus pakar bahasa dan sastra Arab. Beliau melanglang buana, menuntut ilmu keislaman di berbagai perguruan tinggi terkenal di Mesir, Irak, Libya, Tunis, hingga Inggris. Buya Syakur menguasai dengan baik bahasa Arab, Prancis, dan Inggris. Ia sudah meninggal tahun lalu pada usia 75 tahun.
Ketika kita masih ingat kebaikan itu, saat kita mengalami kekecewaan, kita akan mengungkit-ungkit kebaikan yang pernah kita lakukan. Apa yang dikatakannya ini memang benar. Saya masih ingat pengalaman pada jaman pandemi Covid-19. Niat saya tulus sebagai seorang Ketua RT saya mencarikan bansos bagi semua keluarga yang terdampak. Tapi ada beberapa keluarga yang dengan angkuhnya menolak bantuan itu dengan sikap yang mengecewakan. Alhasil, sampai detik ini pun kalau ingat peristiwa itu saya masih mengungkit-ungkit dalam hati.
Pengalaman saya ini berarti pula bahwa apa yang saya anggap kebaikan saya itu juga omong kosong belaka. Saya tidak berbuat baik, karena masih mengingat-ingat dan mengungkit-ungkitnya karena saya kecewa dengan mereka. Saya malu sekarang mengenang itu sebagai kebaikan saya. Bagi saya, itu kebaikan berpamrih, alih-alih berbuat baik dan menolong.
Padahal saya dulu pernah menulis soal kebaikan dan memberi. Kalau kita ingin memberi, ya berikanlah, lalu titik. Tidak ada koma setelah memberi. Karena kalau masih ada koma, berarti kita masih punya pamrih saat kita berbuat baik. Entah pamrih ucapan terima kasih, pamrih untuk dianggap baik, pamrih untuk dihormati dan disegani, dan lain sebagainya. Maka saya katakan, kalau ingin memberi, berikanlah dengan tulus. Titik. Bukan koma. Kalau sudah titik, kita tidak akan peduli kebaikan kita diterima, ditolak, dilecehkan, difitnah, dan lain-lain.
Kajian Buya Syakur mengingatkan saya agar melupakan kebaikan yang pernah kita lakukan. Belum tentu pula apa yang kita anggap baik menjadi kebaikan bagi orang lain. Selama kita mengingat-ingat kebaikan kita, maka kita belum ikhlas, masih berpamrih, masih koma. Kalau kita masih mengingat-ingat kebaikan kita sendiri, berarti kita belum baik. Anggaplah kebaikan kita sudah selesai dan hilang. Biarkan orang lain yang merasakannya. Tugas kita adalah mengingat-ingat dan mensyukuri kebaikan orang lain, kebaikanNya.
Hidup pada hakikatnya adalah proses memberi dan menerima, bukan menerima dan memberi. Kalau kita ingin mendapat kebaikan, berikan kebaikan pada orang lain. Kalau kita ingin kebahagiaan, bahagiakan orang lain dulu. Kalau kita ingin dicintai, berikanlah cinta kita pada orang lain. Kalau kita ingin dihormati, hormatilah dulu orang lain. Jangan berharap dan berpamrih dari apa yang kita berikan. Balasan atau pahala itu urusan Tuhan dan Semesta, bukan atas hitung-hitungan kita.
Kalau kita sudah bisa melupakan kebaikan kita, Tuhan akan memasukkan catatan itu ke dalam laciNya. Kalau kita masih mengingat dan mencatat daftar kebaikan kita, catatan itu masih berada di atas meja, yang bisa terbang, diambil, dibuang, dan tidak dianggap oleh Sang Pemilik meja. Biarkan itu menjadi catatan yang menggembirakan hatiNya, bukan catatan kita pribadi.***
Foto dari https://www.istockphoto.com/id/search/2/image-film?phrase=releasing+dove

keren Ndul..
LikeLike