Orang yang doyan seafood pasti akan mengakui kalau makan kepiting itu merupakan kenikmatan tersendiri. Meskipun harganya relatif mahal, tapi orang rela bersusah payah memecah-mecah cangkang kepiting demi mencecap daging kepiting yang lembut. Menikmati olahan kepiting memang sebuah keasyikan tersendiri.
Bahkan ada kepiting yang mahalnya tidak masuk akal. Kepiting termahal saat ini adalah kepiting salju yang hanya ada di Kanada Timur, Greenland, dan Alaska. Wajar kalau mahal, karena nelayan yang mencarinya harus bertaruh nyawa di lautan lepas dengan ombak ganas dan suhu sangat dingin. Harga kepiting seberat 1,2 kg bisa mencapai Rp730 juta sebagai rekor kepiting termahal di dunia di sebuah pelelangan di Jepang pada 2019.
Terlepas dari enaknya rasa daging kepiting, tulisan ini justru akan membahas tidak enaknya orang yang punya mental kepiting. Mental kepiting ini muncul dari sebuah personifikasi yang terinspirasi dari kumpulan kepiting yang sudah ditangkap dan diwadahkan dalam suatu keranjang.
Kerumunan kepiting itu akan berusaha melepaskan diri dan naik ke bibir keranjang. Dengan segala upaya setiap kepiting akan menginjak, mencapit, dan menindih kepiting lainnya agar bisa naik. Itulah gambaran yang menginspirasi istilah mental kepiting.
Dalam dunia kerja, dunia pendidikan, atau dunia usaha, kita sering menjumpai sebuah kompetisi. Kompetisi untuk mendapatkan jabatan, nilai terbaik, dan keuntungan terbanyak. Dalam kompetisi itu, ada saja orang yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan tujuannya. Orang-orang tersebut persis seperti kepiting yang di keranjang yang berlomba untuk lepas dengan mencapit kawannya.
Dalam dunia kerja, sering dijumpai orang-orang bermental kepiting. Mereka berusaha menjatuhkan kolega atau teman kerja dengan menjilat atasan, dengan bersikap oportunis, munafik, pura-pura baik, padahal kinerjanya parah. Mereka dibutakan oleh ambisi jabatan dan perhatian atasan. Orang biasa menyebutnya sebagai office politics, politik kantor. Suasana kerja bersama orang bermental kepiting ini tentu tidak mengenakkan.
Di dunia usaha apalagi. Ketika penjualan kita laris dan meningkat, ada saja yang iri dan dengki. Kepiting-kepiting licik ini akan mencari segala cara untuk memenangkan persaingan dengan cara tidak sehat. Caranya pun beragam. Dari menyuap, membanting harga, merebut pelanggan, memaksa, hingga sampai ke dukun agar punya mantra pelaris dan mematikan pedagang lainnya. Pasar dan dunia usaha penuh dengan orang-orang bermental kepiting yang tega mencapit dan menginjak temannya.
Ada saja orang yang ingin menjatuhkan koleganya, mitra bisnisnya, temannya, agar ia bisa menang. Merekalah orang yang bermental kepiting. Orang dengan mental kepiting itu akan selalu berpikiran atau berpandangan negatif, penuh iri dan dengki, demi menjatuhkan semua yang dianggap lawan dan pesaing.
Mental kepiting itu selalu meremehkan kemampuan orang lain. Mereka selalu merebut kesempatan dengan cara licik. Betapa sering kita mendengar perkataan, “Alah, kamu tidak bakalan bisa”, “Kamu lebih baik tidak di sini. Pekerjaan ini terlalu sulit untukmu”, “Orang lain bisa lebih baik dari kamu”, “Kamu pasti gagal”, dan lain sebagainya. Tujuannya satu, yaitu untuk menjatuhkan pesaingnya demi kepentingannya sendiri.
Sejujurnya, saya tidak tahu cara mengatasi orang bermental kepiting ini. Kalau dilawan dengan mencapit, lalu apa bedanya kita dengan kepiting itu. Cara paling gampang, kalau itu kepiting betulan, ya diambil lalu direbus, selesai. Sayangnya mereka manusia, dan sayangnya lagi mentalnya seperti kepiting. Silakan menikmati kepiting rebus, tapi jangan bermental kepiting agar tetap bermain fair dalam bersaing.***
Foto dari https://www.wired.com/story/the-snow-crab-vanishes/

aku lebih suka udang atau lobster drpada makan kepiting… hahahaaa…salam njegog guk..
LikeLike