SIAPA SEJATINYA GENERASI STRAWBERRY?
Seorang kawan guru suatu hari curhat ke saya. Ia sebagai guru senior di sebuah SMP swasta. Suatu kali ia mengadakan ulangan mendengarkan (Listening) dari sebuah film horror. Bukan soal filmnya, tetapi para siswanya diminta untuk menangkap isi dialognya dalam Bahasa Inggris untuk diisikan sesuai dengan soal yang diminta. Hari itu ulangan berlangsung dengan lancar tanpa keanehan.
Hari berikutnya tiba-tiba ia menerima komplain dari orang tua salah satu siswinya. Sebagai guru ia dituduh telah membuat anaknya ketakutan sehingga tidak bisa mengerjakan ulangannya dengan baik. Padahal, menurut pengakuan kawan guru tadi, ia sudah menanyakan ke semua murid apakah ada yang keberatan dengan genre film yang dijadikan bahan ulangan. Karena tak satupun keberatan, maka ulangan pun tetap dilakukan. Alhasil, perkara sepele itu menjadi persoalan yang untungnya dapat diselesaikan dengan baik.
Saya yang pernah jadi guru merasa terusik. Profesi guru sekarang semakin menakutkan, karena intervensi orang tua siswa yang terlalu jauh ke lingkungan sekolah. Guru yang dulu dianggap mulia dan dianggap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, kini makin terpuruk. Sudah tanpa jasa, dan selalu diacak-acak orang tua siswa pula. Otoritas dan wilayahnya sebagai pendidik sudah diterobos. Alhasil, dalam mendidik pun mereka kadang gamang, takut dipersalahkan, dan bahkan diangkat ke ranah hukum.
Melihat kasus kawan saya tadi, dalam hati saya lalu mengiyakan kalau anak-anak sekarang dianggap sebagai generasi strawberry. Generasi yang bermental rapuh, gampang lecet, gampang baper dan patah arang. Mereka gampang bersembunyi di ketiak orang tuanya ketika menghadapi masalah.
Istilah “generasi strawberry” pertama kali muncul di Taiwan pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an untuk menggambarkan sebuah generasi yang mentalnya lembek, rentan terhadap tekanan, tidak tahan banting, manja, dan sejenisnya. Mereka sering digambarkan sebagai generasi yang sensitif terhadap kritik, tekanan mental dan emosional. Mereka mudah mengeluh dan mudah stres.
Pernah seorang kawan dosen yang mengajar di sebuah perguruan tinggi swasta berkisah bagaimana sulitnya menangani anak-anak muda yang lemah mental. Ia pernah menegur salah seorang mahasiswanya karena sikapnya di kelas yang kurang pantas. Mahasiswa itu lantas bolos kuliah selama seminggu, karena kena mentalnya.
Kembali ke kasus kawan guru yang dikomplain oleh orang tua murid, saya berpandangan bahwa anak-anak generasi strawberry saat ini bukan karena salah jaman atau memang mereka dilahirkan dengan kualitas strawberry. Justru yang turut punya andil besar pencipta generasi dengan mental lemah dan tidak tahan banting ini sejatinya adalah orang tuanya.
Saya tidak akan menggeneralisir fakta, tetapi hanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman saja. Faktanya, kini makin banyak orang tua yang bersikap seperti “anak sekolah jarak jauh”. Maksudnya mereka tidak ikut bersekolah dengan anaknya, tetapi selalu ikut campur urusan anaknya di sekolah. Orang tua semacam itu berarti tidak lagi percaya pada lembaga sekolah yang mengasuh anak-anak mereka dari pagi hingga siang atau sore. Mereka tidak sepenuhnya menyerahkan anak-anaknya untuk dididik para guru di sekolah. Mereka selalu pasang mata, pasang badan, pasang telinga, dan bahkan berani malu untuk membela anak-anaknya di sekolahan kalau sampai terjadi sesuatu di sekolah.
Campur tangan orang tua di sekolah sangat memprihatinkan. Mereka sudah mulai obsesif dan transaksional. Mereka terobsesi anak-anak mereka menjadi yang terbaik meskipun secara akademis lemah. Mereka akan melakukan segala cara asal mendapatkan nilai bagus. Alasannya mudah. Mereka telah membayar tinggi untuk sekolah, maka mereka layak mendapatkan yang terbaik, termasuk nilai, tanpa mau tahu kondisi nyata anak-anak mereka di sekolah.
Melihat fenomena ini, saya lalu berpikir bahwa para orang tua yang kepo dan gatal untuk campur tangan dengan urusan sekolah itu sesungguhnya adalah yang bertanggung jawab atas lahirnya generasi strawberry. Generasi yang rapuh mental dan tidak tahan banting. Orang tua hanya bisa menuntut dan tidak mau melihat kemampuan anak-anaknya di sekolah.
Sikap orang tua semacam itulah yang menjadi mesin-mesin pencetak generasi strawberry. Orang tua dengan pola asuh yang memanjakan anak-anaknya dengan materi berperan besar menciptakan generasi lemah mental dan generasi manja. Justru orang tua seperti itulah yang layak disebut generasi strawberry. Sudah selayaknya orang tua seperti itu yang patut dididik agar bermental sportif dan menghargai proses, bukan sekedar protes.***

Leave a comment