Inspiration

CAPEK BEKERJA

Saya tergelitik dengan unggahan sahabat saya di TikTok beberapa hari lalu. “Apakah Anda sering merasa capek gara-gara kerja? Kalau Anda mengeluh karena kerja, maka Anda belum pernah merasakan capeknya mencari kerja. Capek kerja itu harusnya disyukuri karena capeknya nikmat banget daripada capek nyari kerja.” Begitulah kira-kira pesan yang disampaikan dalam unggahan sahabat saya, Tri, si tukang permak. 

Bukan tanpa alasan dia mengunggah konten itu. Perjuangannya semenjak remaja sangat berat. Lahir di keluarga broken, hidup di jalanan sehingga harus membiayai sekolahnya sendiri sejak SMP bukan perkara mudah, dan tidak semua remaja seusianya bisa melakoninya. Ia bahkan sempat menjadi atlet gulat yang sangat potensial di jamannya. Dari anak “terbuang” di jalanan hingga namanya menghiasi koran-koran daerah dengan prestasinya adalah perjuangan yang layak diacungi empat jempol, bahkan lebih.

Namun hidup adalah pilihan. Ia bukan memilih lanjut di jalur atlet dengan segala privilesenya. Ia bahkan menolak untuk dijadikan pegawai pemerintah kala itu. Alhasil, nasibnya ia tentukan sendiri. Ia merantau dan menyusuri jalanan panas dan berdebu di daerah kawasan industri di Tangerang. Ia ingin berjuang dengan keringat sendiri untuk menemukan pekerjaannya di sebuah industri sepatu hingga bertahun-tahun. 

Tapi setelah itu, ia justru alih profesi untuk menjadi tukang permak. Usahanya berkembang pesat. Siapa mengira kalau hasil jahitannya dapat memuliakan hidup keluarganya sampai berkecukupan dengan sawah, rumah, mobil, sekolah layak untuk anak-anaknya. Setiap rajutan benang yang disematkan pada pakaian-pakaian yang dipermaknya selalu ada untaian syukur dan iman. Itulah kuncinya. 

Sejauh yang saya kenal, ia tak pernah mengeluh. Pikirannya selalu positif. Ia tidak pernah mengeluhkan capeknya bekerja, capeknya melayani pelanggan rewel, atau sepinya pelanggan. Imannya selalu mengatakan bahwa rejeki untuk keluarganya tidak pernah salah alamat dan salah waktu. Imannya itu ditambahi dengan kebiasaannya untuk berbagi pada tetangga dan sesamanya, baik saat berpunya maupun saat berkekurangan. Ia pernah hidup susah di jalanan, sehingga ia tahu betapa berharganya pemberian yang ia bagikan untuk mereka yang berkesusahan. 

Si tukang permak yang tekun ini memang tak pernah sekalipun mengeluh. Keluhannya sudah habis saat ia menyusuri seluruh kawasan industri untuk mencari pekerjaan bertahun-tahun lalu. Ia hanya capek saat mencari pekerjaan, bukan saat bekerja. Itulah alasan di balik unggahan TikTok miliknya. 

Setiap kali saya duduk sambil ngopi bersama tukang jahit ini saya selalu merasa kecil dan malu. Saya, yang katanya berpendidikan lebih tinggi, terasa tak ada nilainya dibanding si tukang permak lulusan SMA itu. Falsafah hidupnya membungkam mulut saya ketika akan mengeluh saat bekerja menafkahi keluarga. Saya teringat kolega-kolega saya yang punya jabatan tinggi, gelar tinggi, gaji tinggi, tapi selalu mengeluhkan capeknya bekerja. Rasanya memalukan ketika dibandingkan dengan sosok tukang jahit ini. Imannya yang sederhana dalam menjalani hidup pun membuat orang yang rajin beribadah bisa kalah jauh. Ia menjadi pelaku jalan keutamaan dari kitab suci, bukan penghafal ayat kitab suci.  

Saya pun sepakat, bahwa mengeluh saat kita bekerja adalah sebuah kebodohan. Menghujat dan mengeluhkan pekerjaan yang membuat kita bertahan hidup adalah sikap tolol. Keluhan hanya menguras energi untuk hari ini. Parahnya, keluhan itu toh tidak akan menyelesaikan persoalan di hari esok. Kalau memang tidak bisa membuat situasi lebih baik, mengapa harus mengeluh. Capek bekerja itu nikmat dan harus disyukuri, kata unggahan tadi. Kalau Anda ingin membuat pekerjaan Anda hebat, tidak ada cara lain kecuali Anda harus mencintai apa yang Anda kerjakan. Begitu pesan orang bijak. ***



One thought on “Inspiration

Add yours

Leave a comment

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑