Suatu pagi istri saya tiba-tiba mengatakan, “Mas, ini mie sudah kupanaskan. Jangan lihat piringnya, tapi lihat cintaku saat memanaskan makanan ini agar kamu bisa makan dan sehat, ya.” Kata-kata spontan pagi itu membuat saya merasa melayang sesaat. “Makasih banyak ya, atas cinta dan perhatianmu,” saya menjawab sambil tersenyum kecil karena saya sedang di kamar mandi.
Istri saya tahu bahwa saya orang yang sangat sulit soal urusan makan. Saya sangat pemilih. Bukan soal makanan sehat atau tidak, tapi lebih ke hal-hal yang tidak bermutu bagi orang lain. Saya lebih meributkan soal printilan, hal remeh yang tidak mendasar, dibanding manfaat makanan itu. Saya suka tahu dan tempe. Tapi, tahu dan tempe yang seperti apa dulu. Tahu yang lembek saya tidak mau. Tempe yang sudah tua dan keras, saya tidak mau. Ayam saya suka. Tapi ketika potongan ayamnya ngawur, tidak sesuai pakem, saya bisa hilang selera. Daging binatang berkaki empat saya tidak terlalu suka, apalagi kalau ada lemaknya atau tulangnya. Kalau dalam situasi seperti ini, mending saya makan nasi pakai kerupuk saja cukup.
Saya suka sayuran, sayur, oseng, dan segala jenis sayur. Tapi kombinasinya harus yang sesuai selera saya. Misalnya saya makan sayur lodeh dengan lauk tempe dan telor dadar. Saya akan makan dua kali. Telor dadar dengan nasi separo. Lalu dilanjutkan dengan sayur lodeh dan tempe.
Kalau saya melihat orang makan olahan ikan, ikan kaleng, lauk tempe, atau telor, saya langsung ill feel, alias hilang selera. Atau, sayur sop dengan lauk telor dadar. Saya mending menyingkir, menunda waktu makan. Bagi saya, kombinasi yang aneh itu sudah cukup menghilangkan selera makan saya. Bisa dibayangkan, betapa sulit dan anehnya saya dalam urusan makan.
Kalau saya diajak makan di rumah makan atau di luar rumah, istri saya tahu bahwa saya pria pemilih sejati. Dia harus berkorban sangat berat karena dia akan mencoret sop iga, konro, sop buntut, dari daftar menunya saat mengajak saya. Ukuran saya untuk memilih makanan itu adalah air liur yang keluar dari mulut. Kalau saya sreg dengan makanan tertentu, maka air liur saya akan keluar. Artinya, saya bisa makan menu tersebut. Aneh kan? Itulah saya, pria tersulit.
Pasangan hidup saya tahu persis soal kebawelan dan kerewelan saya ini. Tak jarang dia frustasi kalau mengurusi soal makan saya. Dia hanya meneruskan tongkat estafet kejengkelan ibu dan kakak-kakak saya yang sejak kecil mengurusi dan membesarkan saya. Mereka sudah sangat terlatih menghadapi anak yang susah dan rewel urusan makan seperti saya.
Dia tahu bahwa saya tidak suka piring yang dia pakai pagi itu. Piring itu milik anak saya. Gambarnya tokoh kartun Sponge Bob Square Pant. Ada juga yang bergambar Spiderman. Saya bisa kehilangan selera makan kalau makanan ditaruh di piring-piring bergambar karakter itu. Bisa dibayangkan betapa saya seorang pria sulit dalam hal makan.
Ungkapan istri saya pagi itu cukup menampar saya. Saya lupa melihat cinta, perhatian tulus, kerelaan, pengorbanan yang tercurah saat menyiapkan makanan. Yang saya lihat hanya wujud fisik makanan. Itu pun kalau pas dengan selera. Sekalipun saya akan berdoa mengucap syukur atas makanan, tapi saya rasa doanya munafik. Karena tidak ada ketulusan dalam menyukuri cinta, perhatian, kerelaan, pengorbanan, perjuangan, penghargaan di balik makanan yang terhidang.
Saya terus terang iri dengan teman-teman, para suami, yang selalu dapat menghargai dan makan apa pun yang disiapkan istrinya. Mereka tidak pernah protes, sekalipun habis makan dia cerita ke saya kalau masakan istrinya tidak pernah enak. Tapi bahwa dia mau menyantap masakan istrinya, itu sudah merupakan penghargaan tertinggi bagi martabat sang istri.
Saran saya, jangan pernah menjadi pria sulit dalam urusan makan. Lihatlah cinta dan ketulusan di balik makanan yang disiapkan pasangan kita. Syukurilah makna di balik makan. Niscaya, makan menjadi anugerah kehidupan dimana rasa syukur bisa bersambut dengan Sang Pemberi Anugerah.***(Leo Wahyudi S)
Foto dari https://id.aliexpress.com/item/1005001657949736.html

Leave a comment