BAPER SEMENIT, GOBLOK SATU SEMESTER
Judul tulisan ini terinspirasi saat saya beberapa hari lalu melihat sebuah tulisan di belakang sebuah truk boks. Saat itu saya menggonceng ojol menembus belantara kemacetan di Jakarta dan berada di belakang truk tersebut. Saya tersenyum membaca tulisan “Dibaperi semenit, le goblok sak semester …(Dibikin bawa perasaan satu menit, gobloknya selama satu semester)”. Tulisan itu masih ada banyak lagi di bawahnya, tapi tak menarik.
Di tengah terik matahari siang di metropolitan yang menembus 36 derajat Celcius itu saya merenung di belakang tukang ojol yang ngomel di sepanjang jalan karena macet dan kepanasan. Tulisan satir sederhana tapi sarat mengandung makna dalam kehidupan. Apalagi kalau kita ingat kecenderungan sikap hati kita dalam hidup keseharian.
Betapa sering kita menemui, mengalami, atau menderita karena suasana atau orang yang tak mengenakkan. Apalagi kalau ada perundungan (bullying) verbal, lewat kata-kata yang menyakitkan. Peristiwanya hanya berlangsung beberapa menit, tapi kita dibuat ‘goblok’ selama beberapa jam, hari, minggu, bahkan bulan.
Cobalah kita jujur mengingat kembali kilasan hidup beberapa waktu terdekat. Adakah orang atau kata-kata yang membuat kita tersinggung dan sakit hati? Lalu kita membawa rasa ketersinggungan dan sakit hati itu sampai berhari-hari? Entah itu di rumah, dengan anggota keluarga, pasangan, anak, atau di tempat kerja dengan kolega, atau di sekolah dengan guru, teman.
Saya sendiri mengalami. Beberapa hari lalu saya dibuat baper ketika seseorang melontarkan omongan yang membuat saya kepikiran, lalu ada rasa tidak enak. Saya jadi baper karena saya mengingat-ngingat kata-kata orang itu. Saya menahannya agar tidak pergi dari ruang masa lalu saya. Lama kelamaan saya jadi jengkel ketika mencoba menganalisa maksud omongan orang itu. Lalu tumbuhlah rasa tersinggung karena ego saya tergores. Jadi kata-kata di belakang truk tadi menemukan kebenarannya, minimal dari yang saya alami. Baper semenit, lalu saya membuat diri saya goblok dan bego untuk tinggal di masa lalu dengan kenangan yang menyakitkan selama berhari-hari.
Saya yakin ada banyak orang yang merelakan diri untuk dibuat goblok sejam, sehari, seminggu, satu semester, atau bahkan selama hayat dikandung badan. Semua berasal dari baper yang berlangsung beberapa menit dengan beberapa kata verbal atau tindakan fisik. Kegoblokan itu muncul karena kita membiarkan rasa sakit hati dan kecewa itu merampas perasaan kita yang seharusnya bahagia. Kita membiarkan pikiran dan hati dikuasai rasa tidak suka, jengkel, bahkan benci. Dengan pikiran dan perasaan negatif itu sesungguhnya kita sedang memblokade aliran berkah dan kebaikan yang seharusnya menghampiri kita.
Saya sepakat dengan orang yang bisa bersikap dewasa dan tidak membiarkan dirinya untuk baper. Ketika ada orang yang marah dan ngomel di jalan, ia hanya tersenyum dan melambaikan tangan. Ia yakin ada banyak orang yang hidup dengan membawa sampah kemarahan, kebencian, kekecewaan, frustasi, kepahitan. Mereka ingin membuang sampah-sampah itu. Ia mengganggap orang yang marah dan kalap itu sedang membuang sampah, dan kebetulan kita yang dijadikan tong sampahnya. Yang bermasalah adalah orang itu, bukan kita.
Baper itu berada dalam kekuasaan dan kendali kita sendiri. Masalahnya, apakah kita mengijinkan diri atau tidak. Sedangkan orang dengan lidah setajam silet itu berada di luar kendali kita. Itu masalah mereka, bukan kita. Orang pintar sampai mengatakan bahwa 10 persen hidup kita itu adalah hasil ciptaan kita, dan 90 persen adalah bagaimana kita menyikapi hidup itu. Benar, bagaimana kita menyikapi hidup bersama orang lain itu yang lebih penting.
Kalau kita tidak baperan, maka kita akan mudah move on, bergerak terus. Bolehlah sesekali kita dibuat goblok, tapi semenit saja cukup. Sebanding dengan bapernya. Saran saya, jangan mudah baper. Bikin hepi saja. Bukankah hidup itu dinamis dengan menikmati kesadaran dan anugerah saat ini, bukan nanti atau kemaren?***(Leo Wahyudi S)
Foto dari https://www.waldeneatingdisorders.com/blog/can-bullying-lead-to-an-eating-disorder/

Leave a comment