Inspiration

MENAKLUKKAN AMARAH

Berbicara soal marah ini menjadi topik relevan bagi saya yang sering marah-marah. Orang yang perfeksionis, ekstrovert, yang maunya serba sempurna, lurus, tak boleh keliru, biasanya emosinya gampang tersulut oleh kekecewaan yang berujung pada kemarahan. Manajemen ekspektasi yang buruk membuat orang mudah kecewa dan marah terhadap keadaan dan seseorang. Pertanyaannya, apakah dengan kita marah-marah lalu akan serta merta memperbaiki keadaan sesempurna yang kita inginkan? Tidak sama sekali. 

Marah-marah bisa membuat kita menjadi bodoh, karena akal sehat dibuat rehat, alias tidak pakai otak. Itu pun saya alami. Saya belajar dari kepiting. Mengapa kepiting gampang ditangkap? Karena saat dipancing, ia dibuat marah dulu. Saat marah, ia akan mudah menggigit tali pancing, sehingga mudah ditangkap. Berarti amarah membuat kita bodoh. Orang marah itu ibarat melihat bayangan sendiri di permukaan air yang mendidih. Sampai kiamat kedua pun, orang yang marah tak akan melihat kebenaran dari cerminan wajahnya di permukaan air semacam itu.  

Orang yang menahan atau mempertahankan amarah itu ibarat sedang memegang bara api. Bara panas itu ingin dilemparkannya ke orang atau keadaan yang membuatnya marah. Biasanya ia lalu menjadi orang yang sok kuat, sok kebal. Padahal, kulitnya tak sekebal pendekar debus. Akhirnya melepuh. Kemarahan membuat tangan dan hati melepuh dan bahkan bisa membakar tubuh. 

Secara teori, perasaan marah itu seringkali berakar dari rasa kecewa, rasa jenuh, rasa kewalahan, dan penuh, rasa takut dan rasa tidak sesuai. Perasaan marah itu memang harus dilampiaskan agar tersalur, sehingga kemarahan akan mereda. Dalam kultur, pendidikan agama, pendidikan moral, kita selalu dicekoki dengan ajaran agar jadi orang sabar, tidak mudah marah, orang bijak. Memang ajaran itu benar, tapi itu semua konsep yang abstrak. 

Gobin Vashdev, seorang praktisi kesdaran dan penulis, mengatakan bahwa ada hal yang lebih konkret untuk mengendalikan amarah. Secara fisiologis, mengendalikan jantung dan detaknya, atau adrenalin yang naik tak mungkin kita lakukan saat marah. Yang paling mungkin diintervensi saat marah adalah nafas. Saat marah detak jantung meningkat. Tapi kita bisa memperlambat nafas sehingga detak jantung pun melambat. Otak pun bisa berpikir lebih jernih lagi. Amarah pun perlahan menurun skalanya. 

Saya sudah merasa tahu teori ini. Kelihatannya mudah sekali. Saya selalu mengingat-ingatnya belakangan ini, apalagi saat amarah mau meledak karena banyak alasan. Tapi, yang terjadi tidak berjalan sesuai rencana. Kemarahan saya tetap meledak. Dan celakanya, fokus untuk mengendalikan nafas itu kalah dengan nafas yang cepat dan pendek, seiring nafsu amarah yang meluap. Alhasil, saya marahnya nanggung. Marah sekali tidak. Tenang pun tidak. Kacau rasanya akibat pertarungan pikiran sadar dan bawah sadar yang saya alami. 

Seorang biarawan Buddha, Thich Nhat Hanh, dari Vietnam, mengibaratkan amarah sebagai badai. Badai itu berasal dari dasar kesadaran atau pikiran sadar. Maka, ketika badai amarah itu mulai datang, sebagai penangkalnya kita harus memusatkanlah pada nafas kita. Ambil nafas dalam-dalam sebelum kita berbicara atau berteriak. Karena dalam amarah, mulut jauh lebih cepat daripada otak. Orang yang sedang marah nafasnya akan pendek dan cepat. Coba kita ingat-ingat dan rasakan kembali saat kita marah dengan anak, pasangan, atau orang lain. Intinya, kita tidak bisa mengendalikan amarah. Yang dapat kita kendalikan hanyalah cara kita bernafas. 

Yang perlu kita ingat, amarah itu tidak pernah menyelesaikan persoalan. Amarah tidak membuat apa pun berkembang. Yang terjadi justru amarah menghancurkan segalanya. Relasi, respek, kehormatan, kewibawaan, reputasi, dan harga diri pun akhirnya rusak karena nafsu amarah yang tak terkendalikan dengan baik. 

Gobin pun berpesan, kalau Anda dapat menguasai nafas, tak seorang pun akan bisa mencuri kedamaian yang Anda miliki. Marah boleh, itu manusiawi. Tapi alangkah indah dan mulianya kalau kita bisa tersenyum saat marah dan berdamai dengan amarah. Mudah? Tidak sama sekali. Tapi layak kita coba.***(Leo Wahyudi S)

 Foto dari https://benbob.medium.com/anger-is-learned-behavior-and-so-is-hatred-7fdc1def5202  

Leave a comment

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑