Judul tulisan ini terinspirasi dari sebuah eksperimen yang dilakukan oleh pakar psikologi Robert N. Butler pada 1970. Eksperimen itu dibuat untuk melihat dampak makanan terhadap pembentukan plak dalam saluran pembuluh darah arteri. Robert menggunakan dua kelompok kelinci yang diberi makanan tinggi kolesterol yang berisiko menyebabkan penyakit jantung.
Kelompok kelinci pertama dikurung tersendiri di laboratorium. Mereka setiap hari diberi makanan tinggi kolesterol. Mereka tidak bisa bersosialisasi dengan teman-temannya. Sedangkan kelompok kelinci kedua diberi makanan yang sama namun dilepaskan agar kelinci itu tetap berinteraksi dan bermain dengan teman-teman kelinci lainnya. Bahkan, saat diberi makan, kelinci-kelinci itu dielus-elus, ditimang, diajak bicara, diperhatikan oleh orang yang memberi makan.
Di akhir percobaan itu, Butler mendapatkan temuan yang mengejutkan. Kelinci yang terisolasi di laboratorium ternyata pembuluh darah arterinya makin ditempeli plak-plak lemak dan berisiko terserang penyakit karena makanan berkolesterol tinggi. Sedangkan, kelompok kelinci kedua, hanya sedikit saja plak yang menempel di pembuluh darah mereka.
Butler lalu menggunakan istilah Efek Kelinci ini sebagai sebuah metafora untuk menggambarkan koneksi sosial dan emosional sebagai sesuatu yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi kesehatan kita, bukan sekedar soal makanan, latihan atau faktor genetik. Kelinci yang terisolasi dari interaksi sosial, miskin afeksi, belaian perhatian akan mengalami perkembangan buruk terhadap kesehatannya. Sebaliknya, kelinci yang mendapatkan interaksi dan koneksi sosial jauh lebih sehat meskipun mereka diberi makanan berkolesterol tinggi. Hubungan yang positif, lingkungan yang penuh dukungan, penuh perhatian, kedekatan emosional ternyata sangat efektif dalam mencegah munculnya penyakit. Begitu kira-kira temuan dari penelitian Efek Kelinci.
Dalam dunia nyata dewasa ini, saya melihat bagaimana sekarang semua jenis makanan seolah menjadi kambing hitam dari segala macam penyakit berat. Ada semacam rantai sistem yang membangun tuduhan, dari dokter, pakar gizi, pakar kesehatan yang ditularkan kepada orang-orang yang sehat agar menjauhi banyak jenis makanan. Semua tuduhan itu disimpulkan dari orang-orang yang sudah mengalami sakit parah seperti jantung, ginjal, paru, hati, diabetes, dan sebagainya. Akhirnya tuduhan terhadap makanan sebagai penyebab penyakit itu menjadi semacam sugesti kolektif yang diamini oleh semua orang.
Beras, gandum, nasi, tepung, gula, sayuran, daging kambing, daging sapi, minyak goreng, santan, dan sebagainya adalah bahan makanan yang dijadikan tersangka atas segala macam penyakit dewasa ini. Padahal Sang Pencipta menyediakan semuanya baik untuk manusia. Semua baik adanya dan ada maksudnya, agar manusia dan ciptaannya hidup. Kalau gula disalahkan sebagai biang kerok, kenapa Tuhan menciptakan tebu, padi, gandum. Apakah dengan demikian kita sadar bahwa kita sedang menistakan Sang Pencipta dan semesta dengan menuduh ciptaan-ciptaan itu sebagai biang keladi berbagai penyakit?
Dengan sugesti-sugesti kolektif itu lalu muncullah suasana ketakutan, kekuatiran berlebih, kecurigaan tingkat dewa terhadap segala jenis makanan yang notabene adalah pemberian dan anugerah Sang Pencipta. Apakah manusia sadar bahwa pikiran merekalah yang sesungguhnya sedang menciptakan penyakit, karena ketakutan, kekuatiran, stigma, kecurigaaan mereka sendiri? Manusia sudah diberi anugerah luar biasa, kekuatan pikiran. Siapa dirimu adalah hasil pikiranmu. Artinya, jika pikiranmu takut sakit karena makanan, maka terjadilah sakit seperti yang kau pikirkan. Bukan makanan yang kau makan, tapi pikiranmu. Begitulah kira-kira tafsirannya.
Saya tertarik dengan Agus Ali Fauzi, seorang dokter paliatif dari Surabaya dan seorang penceramah. Dalam satu ceramahnya ia mengatakan, “The power of positive mindset. Kalau mindset-nya positif, nggak akan takut dengan makanan. Begitu Anda memandang kejadian dan makanan dengan positif sebagai rejeki dari Allah yang akan menjadi energi untuk berkarya, beribadah, membantu orang, maka sel dalam tubuh kita akan menyiapkan.”
Saat ia mau makan sate, durian, dan seafood, ia hanya bersyukur dan meyakini bahwa semua ini rejeki kemurahan Allah yang akan membuat tubuhnya sehat. Maka terjadilah seperti yang diyakini. Tak ada masalah. Tapi bagi orang yang sudah dipenuhi ketakutan dan sugesti, bahkan tanpa makan sate dan durian, kolesterolnya sudah naik karena kekuatan pikirannya sendiri. Begitu kelakarnya.
Makanan tidak salah. Tapi bagaimana menerima dan menikmati makanan itu secara positif yang akan berdampak pada kesehatan. Kata dokter Agus, tinggal dikurangi, diatur, diimbangi, dan ditambahkan. Tambahannya adalah sedekah, mengajak orang lain menikmati rejeki, berbagi, membahagiakan orang lain, tidak serakah, tidak egois, maka niscaya semua makanan itu berkah dan menyehatkan.
Persis seperti penelitian Efek Kelinci tadi, pikiran positif, kedekatan emosi, koneksi sosial, interaksi sosial, keramahan, kelemahlembutan, perhatian akan jauh lebih menyehatkan, mencegah penyakit, daripada sekedar makanan dan segala ketakutannya. Artinya, bukan makanan yang menyebabkan penyakit, tapi pikiran kita sendiri yang menciptakan penyakit.***(Leo Wahyudi S)
Foto dari https://www.istockphoto.com/id/foto-foto/rabbit-in-hands

Leave a comment