Pernahkan Anda berada dalam situasi yang akhirnya memaksa Anda untuk pasrah, menyerah? Anda dengan terpaksa harus mengakui kalah atas sesuatu, situasi, atau seseorang yang tidak dapat dikendalikan? Bagaimana perasaan Anda saat harus bersikap pasrah?
Saya pernah mengalami situasi serius ketika saya terbelit sebuah masalah besar. Saya sudah terpojok dan tak berdaya ketika segala upaya yang saya lakukan tak ada hasilnya. Akhirnya saya harus mengakui kalah di dalam laga kompetisi kehidupan. Saya ingat ketika saya menutupi muka saya dengan bantal sambil tengkurap, saya berteriak, “Tuhan, aku kalah. Aku pasrah sekarang. Terserah apa mauMU.” Saya tanpa sadar meneteskan air mata. Bukan sedih karena situasi yang pahit, tetapi sedih karena ego saya sebagai laki-laki harus terluka ketika harus menyerah kalah. Ego yang terluka itu yang membuat saya menitikkan air mata. Saya meyadari itu.
Kata pasrah sering dikonotasikan dengan situasi menyerah antara pihak yang kalah dan dipasrahkan ke pihak yang lebih berkuasa. Pasrah diartikan sebagai penyerahan atas kendali dan keputusan kepada sesuatu yang dianggap lebih kuat atau di luar kendali manusia. Bagi orang yang memiliki ego yang kuat kata pasrah selalu disingkiri. Bagi para olahragawan atau atlet, kata pasrah dan menyerah tabu diucapkan. Bagi para tentara, kata pasrah dan menyerah tidak ada di kamusnya.
Meskipun kata pasrah sering dikaitkan dengan konsep keputusasaan, dalam konteks tertentu pasrah juga dapat diartikan sebagai tindakan bijaksana dan penuh kesabaran ketika manusia tidak dapat mengendalikan segala hal di sekitarnya. Dari sini saya belajar ngaji Jawa yang dibawakan oleh Dimas Tunjung Bintoro tentang makna sesungguhnya pasrah, berserah, sumeleh, surrender.
Dalam konteks spiritualitas, sesungguhnya orang yang melakukan keberserahan total atau pasrah total justru akan membuka akses terhadap sesuatu yang lebih besar daripada yang kita yakini dan ketahui. Pasrah itu berarti menyerahkan diri, kosong, tanpa ada pikiran negatif, keyakinan, emosi, ego, hasil ciptaan sendiri. Kalau kita pasrah dan berserah tetapi masih membawa persepsi dan pikiran sendiri, itu menjadi sabotase mental yang menghalangi akses kita kepada semesta dan yang Maha Pemilik semesta.
Pasrah berarti kosong, tanpa membatasi sesuatu yang ada dalam diri dan sekeliling kita dengan keyakinan sendiri, dengan persepsi orang, dengan ego. Kesombongan, rasa diri tinggi, penting, rasa sengsara, menderita, berkekurangan, kesedihan, itu wujud sabotase mental yang menghalangi kepasrahan. Kalau kita berhasil menjadi diri yang kosong, maka kita menyatu dengan sebuah getaran Ilahi yang tak terbatas. Kita menjadi pribadi yang lebih tinggi, yang menyatu dengan vibrasi atau getaran ilahi.
Berserah dengan keadaan kosong berarti melepaskan segala pikiran, batasan, dan ego yang membelenggu kita dalam berelasi dengan Sang Maha Tinggi. Jika frekuensinya sudah terkoneksi, maka orang yang berpasrah total akan menjadi orang yang paling kaya, karena ia memiliki akses tak terbatas kepada kelimpahan semesta yang tak terbatas. Jika kita bisa menjaga frekuensi agar tetap tersambung dengan frekuensi ilahi, maka Sang Maha Empunya akan bebas mencurahkan kelimpahan dan milikNya untuk manusia yang iklas berpasrah. Saya pun mengalami sendiri setelah peristiwa pasrah, saya mendapatkan jalan penyelesaian yang luar biasa. Solusi itu datang dari semesta saat saya kosong dan merontokkan ego dan kawan-kawannya.
Yang sering terjadi adalah orang ‘merasa’ sudah pasrah dan berserah, tapi mengeluh dan merasa tidak pernah mendapatkan pertolongan dariNya. ‘Merasa’ iklas, ‘merasa’ tulus, ‘merasa’ pasrah itu berarti kita masih dibatasi oleh rasa ‘merasa’. Alih-alih bersikap pasrah, pikiran dan hati kita sibuk berhitung dan menilai. Itulah limitasi pikiran yang belum iklas. Semakin kita punya banyak limitasi pikiran dan perasaan, semakin terbataslah akses ke kelimpahan semesta. Dan, yang kita dapatkan adalah sesuai dengan yang kita keluhkan, yang kita rasakan, sesalkan.
Intinya, kalau berani berserah dan pasrah, bebaskan diri kita dari limitasi pikiran dan perasaan ‘merasa’. Biarkan diri kosong dan menyatu pada kelimpahan tak terbatas Sang Pencipta maka kita akan dianugerahi oleh kelimpahan, kebaikan, cinta, dan kebijaksanaan.***(Leo Wahyudi S)
Foto diambil dari https://jogja.tribunnews.com/2020/12/14/kumpulan-doa-memohon-rezeki-yang-dipanjatkan-muslim-kepada-allah-swt

Leave a comment