Tahun politik sudah mulai. Politik identitas yang mengusung agama sebagai jualan dan tunggangan politik sebentar lagi akan dipasarkan. Permintaan pasar juga akan tinggi. Wajar kalau agama akan menjadi komoditas menggiurkan.
Para ahli surga, pemilik surga, penguasa dan pemuka agama, akan mulai bertingkah bak saudagar yang berebut pasar. Mereka ingin menunggangi demokrasi dengan jualan tiket surga. Janji surga selalu mendapatkan pasar karena tak kenal musim. Beda dengan tiket konser grup musik Cold Play yang laris manis diperebutkan jutaan orang, karena gelaran konser tidak diadakan setiap waktu.
Para ahli surga selalu memasarkan bahwa surga itu menjadi tempat terjanji yang menjadi impian semua orang beragama. Orang berlomba untuk mendapatkan tiket ke surga karena di sana dijanjikan sebuah tempat yang penuh dengan kenikmatan, keindahan, kenyamanan. Karena sifatnya impian yang utopis, surga selalu ditempatkan di masa depan. Nanti kalau…, besok kalau …, pasti akan bla bla bla. Begitu janji-janji berbau surga itu dipasarkan.
Saya tergelitik dengan kotbah Ashin Kheminda dalam sebuah unggahan TikTok. Menurutnya, Buddha tidak pernah memusatkan hidup di masa depan, karena yang paling penting adalah saat ini. Surga dan neraka itu diciptakan pada saat ini, saat kita hidup ini. Bukan besok, bukan nanti. Agama dimaksudkan untuk membangun kesadaran bahwa surga itu berada pada saat ini. Kalau saat ini saja orang sudah hidup seperti dalam suasana neraka yang penuh penderitaan, bagaimana mungkin orang itu akan lahir di surga. Begitu kelakarnya.
Tidak sedikit orang yang mabuk surga dan mabuk agama hanya pasrah menerima penderitaan dan kesengsaraan tanpa pernah berusaha mengubahnya. Bahkan teroris berani melakukan aksi bunuh diri dan membunuh sebanyak mungkin orang hanya demi mengejar impian surga. Semua karena kemabukannya terhadap iming-iming surga masa depan. Tak heran jika Karl Marx pernah mengkritik bahwa agama menjadi candu masyarakat. Candu itu membuat pikiran melayang bagi orang yang hanya menyerah pada nasib dan keadaan dirinya yang penuh derita dan sengsara. Padahal Tuhan dan semesta hanya akan menolong orang yang mau mengubah nasibnya sendiri.
Rhonda Byrne mengatakan bahwa kita sejatinya bisa mengubah hidup kita menjadi surga. Satu-satunya cara untuk melakukannya adalah menjadikan dunia batiniah kita sendiri sebagai surga. Tidak ada cara lain. Anda adalah sebab, hidup Anda adalah akibat. Artinya, kalau hidup kita hanya pasrah pada nasib dan memegang mimpi surga saja, maka akibatnya hidup kita akan tetap berjalan di tempat, dan bahkan sengsara dan penuh kepahitan.
Surga dan neraka itu tidak jauh. Letaknya ada di dalam dunia batin kita. Kalau batin, hati, pikiran kita bahagia, penuh cinta, penuh syukur, maka kita sedang menciptakan surga bagi diri sendiri dan orang lain. Sebaliknya, jika batin dan pikiran kita dipenuhi rasa iri, dengki, benci, permusuhan, menang sendiri, benar sendiri, maka sejatinya itulah neraka kehidupan. Surga dan neraka ada di saat ini, bukan nanti atau besok.
Saya terkesan dengan apa yang disampaikan Ustad Syaiful Karim dari Bandung. Ia mengatakan dengan tegas bahwa dunia penuh kebahagiaan atau penderitaan itu adalah akibat dari pikiran kita sendiri. Mau bahagia atau menderita itu adalah keputusan kita sendiri. Pikiran melahirkan emosi dan emosi menuntun pada tindakan. Pikiran membuka kemungkinan tanpa batas, termasuk untuk menciptakan surga dan neraka pada hidup kita saat ini. Percayalah, bahwa hidup kita saat ini adalah akibat pikiran kita.***(Leo Wahyudi S)
Foto diambil dari https://www.dream.co.id/stories/pria-ini-beli-tiket-ke-surga-dari-olshop-seharga-rp2-ribu-isinya-bikin-ngakak-2302014.html

Artikel yang mencerahkan, thanks bro.
LikeLike
makasih juga udah mau baca boss
LikeLike