CAPUNG
Perjalanan hidup seseorang selalu mengalami grafik naik dan turun. Hampir tidak ada, sependek pengetahuan saya, yang memiliki grafik yang sangat lurus menjulang dari bawah menuju ke atas dengan pesat. Atau, grafik yang menukik tajam dari ketinggian. Tapi jangan juga yang terlalu stabil, dengan grafik lurus terus, karena kalau lurus ini saya jadi teringat instrumen medis di ICU kalau grafiknya merupakan garis lurus dan stabil. Artinya hidup sudah berakhir.
Ketika mengalami pengalaman hidup di bawah garis normal, maka stabilitas kehidupan terganggu. Saya pernah mengalami hidup di titik nadir, terendah dalam hidup karena kesulitan ekonomi, sosial, dan seabrek persoalan hidup. Dalam kondisi demikian, manusia yang masih memiliki keyakinan akan Yang Maha Kuasa akan cenderung mendekatkan diri pada Tuhan. Saat kepepet sudah tidak ada rasa malu sama sekali. Padahal saat kondisi normal, atau bahkan saat kondisi di puncak, biasanya Yang Maha Kuasa itu dilupakan karena dibutakan oleh kuasanya sendiri.
Dalam penderitaan semacam itu, kita seolah melihat Tuhan yang begitu dekat, begitu nyata. Padahal biasanya saat berkecukupan, rasanya Tuhan jauh dan tak kelihatan. Padahal karena Tuhan jarang dilihat karena kecukupan telah membutakan keilahiaan.
Tuhan serasa hadir di semua benda, makluk, termasuk manusia, binatang, tumbuhan. Mata batin seolah baru dibuka agar melihat Tuhan dimana-mana. Saya ingat seorang kawan pernah mengatakan agar kita jangan mengusir atau membunuh capung yang masuk ke rumah kita. Pasalnya, capung ternyata dianggap sebagai pralambang keberuntungan dalam hidup.
Karena sedang dalam kondisi susah, maka saya pun percaya. Kebetulan memang setelah itu ada capung terbang dan masuk ke rumah. Saya spontan langsung berucap syukur, “Alhamdulillah, rejeki datang.” Dan anehnya, beberapa hari kemudian memang benar ada keberuntungan menghampiri saya. Ada rejeki datang secara tiba-tiba melalui tawaran pekerjaan, proyek atau apapun yang menghasilkan uang.
Semenjak itu, keluarga kami meyakini ketika ada capung terbang ke rumah, berarti akan ada rejeki yang datang. Fenomena itu hampir selalu menjadi kenyataan. Setelah saya baca-baca, sebagian besar mengatakan bahwa capung yang sudah ada 300 juta tahun lalu itu memang dianggap sebagai serangga pembawa keberuntungan. Capung juga menjadi pertanda alami perubahan cuaca, datangnya musim hujan, pendeteksi kualitas air yang masih bagus karena masih belum terkena pencemaran untuk perkembangbiakannya. Ada yang meyakini bahwa capung juga sebagai simbol pembawa aura positif dan kemakmuran.
Memang harus diakui, kedekatan Illahi di saat susah memang terasa intim. Keintiman relasi dengan Tuhan lalu ditandai dengan ibadah rajin, berbuat, berpikir, bersikap yang suci dan soleh. Pintu surga diketuk setiap hari sambil merengek-rengek dengan harapan akan diberi belas kasihanNya. Bahkan air mata kepedihan yang keluar pun rela dipakai untuk mengepel lantai di depan pintu surga itu. Tanpa malu dan gengsi, karena hati sedang gundah.
Saya tidak mengajarkan untuk percaya pada takhayul atau penyembahan berhala. Tapi semata untuk melihat capung sebagai ciptaan Tuhan yang dijadikan pertanda akan kebaikan Sang Pencipta. Sebenarnya iman, keyakinan dan kekuatan pikiran melalui simbol capung itulah yang membuat apa yang kita Imani menjadi kenyataan. Anggap saja capung menjadi sarana mengimani kemurahan Tuhan Sang Maha Pemberi. Apalagi saat kita susah dan mau berserah di bawah KuasaNya. Imanmu, bukan capungmu, yang menyelamatkanmu. ***(Leo Wahyudi S)
Photo credit: nationalgeographic.grid.id
Leave a Reply