BARET
Suatu pagi, saya dikejutkan oleh seorang tetangga yang memarkir mobilnya di depan pagar rumah saya. Begitu turun dari sedan Mercedes Benz merah darah, ia langsung nyerocos dengan marah. “Pak, lihat. Mobil saya digores. Saya mau cari orang yang melakukannya. Saya tidak terima. Bapak sebagai pengurus harusnya tahu siapa yang komplain soal parkir dan siapa yang menggores mobil saya,” katanya dengan nada marah, menumpahkan segala kekesalannya pada saya yang kebetulan menjadi pengurus RT.
Saya mencoba menghadapinya dengan kepala dan hati dingin, meskipun emosi saya sempat terpancing. Saya jelaskan bahwa kejadian itu di luar kuasa saya dan itu risiko yang harus ditanggung pemilik mobil yang parkir di jalan kompleks.
Dia makin marah. Tapi juga tidak bisa memaksa saya untuk bertanggung jawab. Dia menyesal sekali mobil mewahnya tergores di bagian pintu. Padahal goresan itu hanya sebaris dan tidak terlalu dalam. Dengan kemarahannya seolah kualitas kemewahan Mercedes Benz sirna gara-gara goresan tak seberapa itu. Padahal fungsinya sebagai kendaraan tidak hilang sama sekali. Satu baret seolah menghapus segala image kebaikan dan kemewahan Mercedes Benz dengan segala fungsinya, dan terganti oleh amarah.
Tak hanya tetangga saya, banyak teman saya yang mengumpat tiada habisnya ketika mobil mereka ada cacat atau goresan sedikit. Entah itu karena ulah mereka sendiri, atau karena kesengajaan. Goresan atau cacat tak berarti itu cenderung dibesar-besarkan. Sampai-sampai fungsi, kemewahan, status sosial makin dikecilkan maknanya. Ironis. Tapi inilah kenyataan yang sering saya temui.
Orang cenderung membesarkan kesalahan kecil dan melupakan kebaikan lain yang jauh lebih besar dan bermakna. Orang tua memarahi anaknya hanya karena ulangan Matematikanya ada yang salah satu nomor. Perjuangan dan nilai 9 yang diperoleh anaknya seolah tak berarti apapun. Tetangga dan teman saya pun membesar-besarkan sebuah goresan atau baret kecil di mobil mereka dan melupakan bahwa mereka masih sangat beruntung punya mobil mewah, mobilnya masih bisa berfungsi dengan baik. Kemarahan dan kekecewaan sekecil apapun telah menghapus berkah dan kebaikan sebesar apapun.
Saya terkenang sebuah pengalaman di Kota Gunung
Mas, Kalimantan Tengah. Ada sebuah mobil jip tua jelek yang tak sengaja
menabrak mobil mewah di depannya. Setelah kejadian itu, kedua sopirnya turun, saling
bermaafan, dan kemudian geleng-geleng kepala sambil tertawa. Keduanya lalu
masuk mobil masing-masing dan melanjutkan perjalanan lagi. “Di sini kejadian
begitu biasa, Pak. Semua saling maklum. Coba kalau itu terjadi di Jakarta,
pasti terjadi perkelahian ya, Pak?” kata sopir kami sambil tersenyum.
Orang yang selalu mengeluh dan mencari kesalahan dari keadaan maka dirinya sedang dikalahkan oleh sesuatu yang sepele dengan pikiran sempit. Orang yang berpikiran luas tidak perlu membuang energinya hanya dengan mengeluh tetapi tetap fokus untuk membuat hidup dan keadaan lebih baik. Pesan Orison Swett Marden dalam bukunya “Be Good to Yourself” sepertinya layak kita renungkan.***
Photo credit: dream.co.id
Leave a Reply