Inspiration

MAUKAH ANDA JADI PERBAN?

Pertanyaan ini saya ajukan kepada Anda karena saya tergelitik oleh postingan dari Grace Tahir, seorang pengusaha dan direktur Rumah Sakit Mayapada Hospital. Grace anak kedua dari konglomerat Dato Sri Tahir yang terkenal suka membantu orang. Dalam postingannya di akun Thread @gtahirs, Grace menulis, “Kadang mau bantu tapi malah jadi bumerang. Kadang mau bantu, tapi nanti kecewa. Membantu orang rumit juga ternyata.”

Membantu orang lain itu ibarat diri kita menjadi perban. Perban digunakan untuk membalut luka. Perban itu diperlakukan dengan hati-hati seperti memperlakukan luka yang dibungkusnya. Namun, begitu luka sembuh, perban akan dicampakkan dan dibuang di tempat sampah. Ini yang dikisahkan oleh Grace dalam postingannya. Seolah ia sedang galau saat ia membantu orang lain. Entahlah, saya tidak mau berandai-andai.

Yang jelas sudut pandang anak konglomerat yang berkecimpung di bisnis kesehatan ini unik. Kalau soal bantu membantu, pandangan saya sederhana saja. Kita memberikan apa pun yang kita mampu dan kita punya di saat orang memerlukan. Yang penting adalah ketulusan, keikhlasan, dan empati kita. Pertolongan kita tidak harus berupa materi. Tapi hati, mata, telinga, tenaga, simpati bisa menjadi sesuatu yang berharga bagi yang membutuhkan. 

Ketika memberikan bantuan pada orang lain yang membutuhkan kita masih dibungkus oleh pamrih, maka bantuan itu mirip orang yang berjualan perban. Paling tidak, perbannya harus bayar. Perbannya sendiri tidak pernah berharap apa pun, kecuali hanya untuk membungkus luka agar tetap steril sehingga luka yang dibungkusnya cepat pulih kembali. Perbannya tidak punya pamrih. Justru yang punya perban yang selalu berpamrih. 

Menurut saya perban sudah menjalankan fungsinya dengan mulia, dengan tulus. Perbannya juga sadar kalau lukanya sudah selesai, sudah sembuh, maka ia akan dibuang dan dicampakkan di tong sampah. Perbannya tidak masalah. Ia sudah melakukan sesuai dengan amanah awal ia diciptakan. 

Saya sendiri pun menyadari bahwa saya sering menjadi perban bagi luka orang lain. Saya diperlukan ketika orang lain membutuhkan agar lukanya sembuh. Setelah itu, saya pun sadar konsekuensinya, bahwa setelah orang itu sembuh, maka perbannya akan dibuang dan dilupakan. Justru saya kadang malah heran kalau ada orang yang pernah saya bantu tetap mengingat-ingat saya. Saya sudah menyediakan diri sebagai perban, mengapa orang itu masih mengingat-ingat perban kotor bekas luka yang dibuangnya dulu. Untung saya segera sadar pula bahwa saya bukan benar-benar sebuah perban, tapi hanya sebuah metafora saja. Jadi wajar saja kalau masih ada orang yang teringat bantuan yang pernah saya berikan, meskipun saya tak pernah mengharapkan apa pun. 

Sekarang terserah kita. Saat kita mau menolong orang lain yang memerlukan, apakah kita berlaku sebagai penjual perban, atau menjadi perban yang siap dicampakkan ketika sudah tak diperlukan. Kesadaran ini perlu agar kita tidak mengeluh, “Membantu orang itu ternyata rumit.” 

Sebetulnya membantu orang lain itu tidak rumit. Sederhana saja, asalkan kita menjalankan fungsi seperti perban. Mau diingat ya syukur, mau dibuang ya wajar. Kalau kita ingin jadi perban ya harus ikhlas, tulus, dan selesai, tidak ada koma, tidak ada pamrih di belakangnya. Karena itulah fungsi perban. 

Lain kalau kita berlaku seperti juragan perban. Kalau yang dibantu tidak membayar perban, kita pasti akan menggerutu. Dengan pola pikir ini kita akan takut kalau bantuan kita justru akan menjadi bumerang. Kita akan kecewa kalau yang dibantu tidak tahu terima kasih, dan sebagainya. ***

Leave a comment

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑