INSPIRATION

SETAN GEPENG YANG MENCULIK KESEJATIAN KITA

Suatu hari ibu mertua saya curhat. Ia merasa jengkel karena suaminya kini terjangkiti penyakit setan gepeng. “Tahu nggak, papamu sekarang sering mojok sendiri. Senyum-senyum sendiri. Nggak tahu apa yang dia tonton. Kalau sudah asyik, dipanggil susah. Mama sebel banget,” kata ibu mertua dengan sewot. Awalnya saya tidak begitu paham apa itu setan gepeng. Ternyata yang dimaksud adalah ponsel pintar. 

Mengapa menjadi setan gepeng? Karena bapak mertua dulunya sangat kolot dan tidak mau tahu dengan teknologi. Dia ngotot hanya mau punya ponsel jadul. Tapi begitu punya ponsel pintar, semua berubah drastis. Dia mulai beradaptasi dan bertransformasi. Ada semacam eforia ketika mengenal teknologi canggih di layar ponsel. Lama kelamaan, dia makin kecanduan dengan segala kemudahan, keindahan, tontonan, dan hiburan yang selama ini tidak ia kenal. Hasilnya, sekarang dia sering mojok menyendiri dan memegangi ponsel pintar sambil senyum-senyum sendiri. Sementara ibu mertua merasa terabaikan karena perubahan yang cepat dari suaminya.

Mari kita bicara jujur sebentar tentang benda kecil persegi panjang yang hampir tak pernah lepas dari genggaman kita, yaitu ponsel pintar yang tak pernah lepas dari kehidupan kita. Benda ini sungguh Ajaib. Ia bisa menghubungkan kita dengan ujung dunia, memberikan hiburan tanpa batas, dan menyajikan informasi secepat kilat. Tapi, sadarkah kita, ia juga bisa berubah wujud menjadi sesuatu yang kita sebut ‘Setan Gepeng’?

Ponsel kita bisa menjelma sebagai sebuah alun-alun raksasa tanpa tepi. Di sana, semua orang berkumpul. Kita bebas teriak, tertawa, mengasihani diri, menangis, meratap, mengemis, atau bahkan memaki. Di alun-alun ini semuanya tersedia, dari ceramah yang menyejukkan kalbu, tutorial yang bermanfaat, hingga konten pemuas nafsu yang tabu.

Dunia maya memang menawarkan apa yang tidak kita dapatkan di dunia nyata. Jika di dunia nyata kita kesulitan berinteraksi, di sini kita bisa menjalin ‘interaksi semu’ dengan mudah. Kesejatian kita sebagai makhluk sosial yang butuh sentuhan fisik, sapaan hangat, dan tatapan mata seolah hilang diganti keasyikan menatap layar. Kesemuan itu seolah hadir nyata. Kita terbius dan terhipnotis oleh tampilan di layar. Soal kebenaran, urusan belakang.

Di dunia maya, kesadaran diri sudah bergeser menjadi kedirian, dari sadar diri menjadi foto diri yang dibuat seolah sempurna. Inilah jebakan utamanya. Kita sering lari ke dunia semu ini sebagai pelarian dari realitas. Kita sibuk membangun citra yang sempurna, bukan untuk refleksi diri yang sesungguhnya (self-awareness), melainkan sekadar untuk pamer dan mencari pengakuan atau validasi. Selfie makin digandrungi, sementara self (diri)-nya hilang entah ke mana. 

Logika kita sering kali kalah oleh gemerlap dan kemewahan yang palsu. Kita melihat orang lain sukses, liburan mewah, atau punya barang mahal, dan tanpa sadar, kita ikut terseret dalam fantasi kesuksesan yang semu itu. Kita lupa bahwa di balik setiap postingan yang berkilau, ada kehidupan nyata yang mungkin sama rumitnya dengan kita. Yang kemilau di layar tak seindah bentuk aslinya di dunia nyata. Layar itu adalah panggung, dan yang kita lihat hanyalah akting terbaik mereka.

Tapi, di balik segala gemerlap dan godaan teknologi setan gepeng, kita harus ingat bahwa hidup ini adalah tentang pilihan. Ponsel pintar kita, si ‘gepeng’ ini, tidak ditakdirkan untuk menjadi setan selamanya. Kita punya kuasa untuk mengubahnya menjadi ‘Malaikat Gepeng’ yang membawa manfaat. Caranya sederhana, yaitu logika dan kesadaran. Kita bisa membatasi waktu untuk berselancar di layar ponsel. Sama seperti kita membatasi makan makanan manis, batasi juga waktu layar yang tidak produktif. Lalu, kita bisa bersikap bijak pada konten dengan menggunakan media sosial untuk belajar, berkreasi, dan menyebarkan kebaikan, bukan sekadar menggulir (scrolling) tanpa tujuan. Kemudian sadarilah bahwa kita diciptakan sebagai manusia dan realita. Saat berkumpul dengan keluarga atau teman, kita bisa menyimpan ponsel. Rasakan kehangatan sapaan fisik. Kita belajar hadir secara utuh di momen itu. 

Pilihan ada di genggaman kita. Semua kembali pada kemanusiaan kita. Kita yang menentukan, apakah gawai ini akan menculik kesejatian dan waktu kita, atau justru menjadi alat yang memberdayakan dan memperluas kebaikan. Kita bisa membiarkan diri diperbudak oleh setan gepeng, atau membiarkan diberi pencerahan oleh malaikat gepeng. Pilihan ada di tangan kita. ***

Leave a comment

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑