Dalam hidup keseharian, dalam berinteraksi dengan orang-orang, situasi, lingkungan, tidak jarang kita dikendalikan oleh reaksi dan impresi emosi, perasaan kita terhadap sesuatu atau seseorang di luar diri kita. Buktinya, dalam sehari coba disadari, seberapa sering Anda berucap lisan atau dalam hati, “Aku nggak suka si anu, situasi ini, barang itu, anak itu,” dan beragam jenis rasa nggak suka lainnya. Hidup kita seolah diperbudak rasa nggak suka.
Rasa nggak suka itu muncul karena reaksi pikiran dan perasaan kita yang suka menilai dan menghakimi sebuah kenyataan. Bahkan penilaian itu jauh melampaui fakta yang kita lihat dan alami. Ada beberapa penyebab rasa tidak suka yang sifatnya subjektif dan tergantung pada cara pandang serta pengalaman masing-masing orang.
Pertama, perbedaan kepribadian, nilai, keyakinan, minat, dan lain sebagainya yang membuat kita sendiri tidak nyaman. Bagi sebagian orang, perbedaan semacam ini membuat rasa yang tidak nyaman sehingga mendorong munculnya rasa tidak suka.
Kedua, pengalaman negatif atau buruk di masa lalu. Interaksi atau pengalaman masa lalu dengan seseorang dapat juga menimbulkan reaksi perasaan tidak suka. Mungkin pengalaman disakiti, diperlakukan tak pantas, dikhianati, yang dialami masa lalu juga dapat menimbulkan rasa tidak senang ketika mengalami kemiripan situasi atau seseorang dengan masa lalu kita.
Ketiga, rasa iri atau dengki saat melihat keberhasilan, hubungan, kepemilikan, atau kualitas orang lain. Faktor sosial dan ekonomi sering menjadi penyebab munculnya rasa tidak suka. Diakui atau tidak, motif ketiga ini sering terjadi dalam kehidupan keseharian kita.
Keempat, prasangka yang sudah mengakar. Prasangka ini bisa muncul karena perbedaan yang berbau SARA, suku, ras, agama, jenis kelamin, pandangan politik, dan sebagainya. Kecenderungan ini juga sering kita alami tanpa kita sadari. Kita menilai orang lain sesuai ukuran, sudut pandang, dan keyakinan kita. Apabila tidak sesuai dengan kriteria itu, maka cukup alasan bagi kita untuk tidak suka terhadap seseorang.
Menyitir ceramah Ustadz Syaiful Karim, tak jarang kita menilai seseorang atau situasi tertentu karena ada satu hal yang buruk atau satu kekurangan pada diri seseorang. Hal ini diperparah kalau kita fokus pada kekurangan yang menurut kita buruk. Begitu nggak suka, maka hal baik dan positif dari seseorang atau situasi akan terabaikan. Dari sanalah reaksi perasaan nggak suka makin nampak. Reaksi emosi itu muncul menurut penilaian kita sendiri. Penilaian itu sangat bergantung kepada wawasan dan sudut pandang kita sendiri.
Mari kita belajar dari uang. Mungkin kita tidak terlalu suka dengan desain uang kertas baru saat ini. Mungkin karena terlalu kecil, sulit dibedakan, gambarnya tidak menarik. Tapi kita selalu menerima dan menyimpan uang itu apa adanya, suka atau tidak suka. Karena kita memerlukannya untuk menyambung hidup. Dunia di luar diri kita pun bisa diibaratkan uang, punya dua sisi. Bagaimana kalau cara pandang kita terhadap uang kita terapkan pula pada dunia di luar diri? Kita terima apa adanya kehidupan di luar diri kita, sesama, lingkungan, meski gambarnya, tampilannya, kelakuannya, desainnya tidak kita sukai. Melihat, menghargai, dan menerima nilai kehidupan secara utuh sepertinya meminimalisir kita untuk tidak mudah berucap ‘nggak suka’.
Saat kita menilai orang lain atau sesuatu, sesungguhnya kita sedang menilai dan memaksakan ukuran kita kepada orang lain atau sesuatu. Apakah kita menyadari hal ini? Seharusnya, perasaan atau reaksi emosi berada dalam kendali kita sendiri, bukan dikendalikan oleh seseorang atau situasi dari luar. Singkatnya, agar perasaan kita aman dari rasa nggak suka, maka lebih baik mengerem pikiran untuk menilai atau menghakimi siapapun. Sadari dan kendalikan perasaan sendiri agar tetap netral, atau biarkan saja sesuatu terjadi.***(Leo Wahyudi S)
Foto dari https://www.freepik.com/premium-photo/showing-thumb-down-expressing-dislike_32249935.htm

Leave a comment