KEHIDUPAN SEPERTI AIR MENDIDIH
Beberapa waktu lalu saya berkontak dengan anak saya yang berada di luar kota. Sapaan, teguran biasa dari orang tua ke anaknya. Lama kelamaan ketika pembicaraan makin serius. Saya mengingatkan sikapnya yang kurang pas yang membuat ibunya kecewa. Bukan ditanggapi dengan baik dan rendah hati, anak saya justru nadanya meninggi. Merasa seolah sudah benar sendiri, sudah tak perlu dinasihati. Sontak saya pun bereaksi atas aksi anak saya tersebut sebelum akhirnya menutup pembicaraan.
Banyak kasus menjadi viral terkait soal kritikan atau teguran ini. Ada guru yang menegur muridnya karena ketahuan merokok di sekolah. Bukannya menerima teguran dengan rendah hati, tapi murid itu mengadukan ke orang tuanya dan orang tuanya tidak terima pada guru. Lebih parahnya lagi, orang tuanya melaporkan kepada pihak berwajib karena dituduh melakukan perbuatan tidak menyenangkan pada anaknya. Gurunya pun langsung kena sanksi administratif dan bahkan sanksi hukum.
Mungkin Anda atau kita pernah mengalami hal serupa. Kita memberi kritik pada orang lain demi kebaikan, tapi tidak dapat diterima dengan baik. Atau di kali lain kita dikritik orang lain, atasan, tetangga, teman, kolega, dan kita pun menunjukkan hal yang sama. Kritikan memang tidak selalu enak didengar karena biasanya akan langsung menyinggung ego dan keakuan kita. Alih-alih menerimanya dengan rendah hati, kita kadang bereaksi sebaliknya, menjadi congkak, keras hati, dan keras kepala.
Kita bukan hidup di dunia sempurna, demikian pula dengan diri kita dalam menjalani kehidupan. Selalu ada titik dimana kita salah, menyimpang, dan bergeser dari jalur yang semestinya. Agar tak makin menyimpang, maka kritikan itu menjadi seperti kemudi yang dapat mengarahkan kita pada jalur yang seharusnya.
Belajar menerima kritik itu seperti belajar dari air mendidih. Kehidupan itu tidak selalu seperti air dingin atau air hangat. Ada kalanya kehidupan itu bagaikan air mendidih yang sejatinya akan makin mematangkan kita dalam berproses. Air mendidih itu bisa untuk merebus dan mematangkan bahan makanan agar layak dimakan.
Kita ambil perumpamaan bahwa diri kita itu seperti kentang atau telur. Di air mendidih, kentang yang keras dan bergetah itu dapat melunak ketika dimasukkan dalam air mendidih. Sebaliknya, telur cair yang berada di dalam cangkang itu justru makin mengeras ketika direbus. Kita tinggal memilih mau mengidentifikasikan diri kita seperti telur atau seperti kentang.
Sekarang banyak peristiwa yang kadang membuat kita marah, protes, dan prihatin, lantaran makin banyak orang yang menjadi seperti telur rebus saat dikritik. Otak, hati, nurani, empati, semuanya jadi beku dan kaku. Yang penting melawan meskipun kita di pihak yang salah dan kritiknya benar. Hantam dan balas dulu, urusan benar atau salah belakangan. Inilah mental telur rebus bagi orang-orang yang keras kepala dan tak pernah mau belajar dari kritik yang membangun.
Lain soal kalau kritiknya asal bunyi, asal ngomong, asal bacot, asal menghakimi tanpa logika. Tak dipungkiri ada banyak kritik-kritik yang semacam ini. Kritik yang asal seperti ini ibarat orang yang tak punya kaki tapi mengajari orang untuk berlari. Kritik asal ngomong itu sebenarnya malah membuka kekurangan orang yang mengritik. Pengkritik seperti ini ibaratnya asal melempar batu di air mendidih. Menghadapi kritik semacam ini, kita ingat pesan Aristoteles. Jangan terganggu oleh kritikan. Satu-satunya cara untuk menghindari kritikan seperti itu adalah dengan diam tanpa kata, tanpa melakukan apa pun dan tanpa menjadi apa pun.
Lain halnya, kalau kita kita diberi kritikan membangun. Kita bisa bersikap seperti kentang rebus. Kita melunak sambil berefleksi untuk perbaikan diri. Artinya, kita menerima kritik untuk melunakkan ego sebelum kemudian memperbaiki diri. Kita membiarkan diri untuk berkembang dengan masukan orang lain. Kritik yang membangun ibarat perhatian gratis untuk membantu kita kita tanpa kita minta.
Orang bijak mengatakan kita harus menerima pujian maupun kritikan. Keduanya seperti matahari dan hujan yang akan membuat tanaman bunga makin bertumbuh. Sekarang terserah Anda, di tengah kehidupan yang seperti air mendidih ini, Anda mau menjadi telur atau kentang yang melunak. Semua pilihan Anda. ***

Leave a comment