Inspiration

PENJUAL KELAPA BERBALUT AGAMA

Alkisah di sebuah negeri antah berantah, hiduplah seorang pedagang kelapa yang kaya raya. Hidupnya bergelimang harta. Keluarganya pun bisa menikmati kekayaan pedagang itu sampai tiga turunan.

Saking larisnya, ia menobatkan diri sebagai saudagar terlaris. Apa yang membuatnya sukses? Ternyata ia mengklaim dirinya sebagai pemegang lisensi merek buah Kelapa Suci yang konon khasiatnya sangat ampuh untuk mengatasi segala macam persoalan dan kesulitan hidup. Orang itu memang sangat berbakat untuk urusan dagang ditambah merek Kelapa Suci yang diklaim berkhasiat super itu yang membuatnya berhasil.

Suatu kali, ia berhasil datang ke suatu daerah baru untuk menjual kelapanya. Satu ton kelapa yang dibawanya ludes terjual. Pundi-pundi uangnya pun langsung menggembung. Untuk menikmati keberhasilannya, pedagang itu mampir di sebuah rumah makan. Rumah makan itu bersih dan menarik. Terpasang keset indah bertuliskan selamat datang di bagian pintu masuknya.

Untuk memuaskan dahaganya, ia disuguhi minuman khas rumah makan tersebut dengan cangkir coklat berukir indah. Kudapannya pun sederhana, tapi gurih dan enak. Karena puas, pedagang itu lalu bertanya pada pemilik rumah makan.

  “Terus terang baru kali ini saya makan kudapan enak sambil mereguk minuman terenak yang pernah saya rasakan. Saat masuk pun saya merasa masuk di rumah yang bersih. Apa rahasianya Pak?” tanya pedagang kelapa tadi.

“Masak Bapak sebagai saudagar kelapa ilahi yang terkenal tidak tahu?” pemilik rumah makan itu balik bertanya.

“Saya benar-benar tidak tahu.”

“Keset di depan tadi terbuat dari sabut kelapa. Minuman yang enak tadi dari air kelapa muda yang manis. Sedangkan kudapan terbuat dari daging kelapa muda yang dibumbui lalu direbus. Cangkirnya yang indah itu pun terbuat dari batok kelapa. Semua yang Bapak nikmati tadi berasal dari kelapa dagangan Bapak,” jelas pemilik rumah makan sambil tersenyum.

Cerita itu sebenarnya relevan dengan situasi saat ini. Buah kelapa itu ibarat ajaran tentang agama atau keyakinan. Pedagang itu bisa saja kita atau orang-orang yang mengaku diri sudah mumpuni dalam ilmu keagamaan lalu menjajakan sebagai jualannya. Kelapa Suci itu adalah jenama atau merek yang disematkan pada buah kelapa biasa yang dibalut dengan embel-embel agama agar orang yakin, terbius, dan akhirnya mau membeli tanpa berani menawar.

Harus diakui, suka atau tidak, komoditas dagangan yang paling laris saat ini adalah semua bentuk jasa, barang, benda, ajaran, atribut, pakaian, yang dibalut dengan agama. Atribut agama dapat mendongkrak nilai jual barang yang tidak laku sekali pun. Bumbu-bumbu surga, neraka, dosa, pahala, nikmat, adalah bumbu terlezat yang memancing selera para pelanggan untuk memborong dagangan itu. Harga berapa pun tidak akan menjadi masalah. Cap keampuhan dan kesucian di balik barang dan jasa itu yang menjadi magnetnya. 

Ironisnya, para pedagang agama itu kadang seperti pedagang kelapa dalam cerita tadi. Mereka seolah-olah tahu persis luar dalam dari kelapa dagangannya. Padahal mereka sebetulnya tidak tahu apa saja bagian-bagian dari buah kelapa yang dijualnya. Ia bahkan baru tahu kalau buah kelapa terdiri dari sabut, batok, daging, dan air kelapanya. Ia juga baru paham akan nikmatnya air kelapa, daging kelapa. Ia juga baru sadar betapa indahnya batok yang dijadikan cangkir berukir. Sungguh ironis. 

Tapi itulah fakta para pedagang agama. Banyak yang sok tahu dengan pengetahuannya tentang ilmu agama, tetapi minim pemahaman dan penghayatan dari ajaran agama yang dijualnya. Ibarat pedagang kelapa tadi, dengan menentengnya dan menjualnya ke sana ke mari, seolah ia sudah tahu seluk beluk dan rasa kelapa. Padahal ia belum pernah mengupas kulitnya, merasakan kerasnya serat kelapa, merasakan kerasnya batok kelapa. Apalagi merasakan nikmatnya daging kelapa dan segarnya air kelapa yang menyehatkan. 

Tentu tidak semua, tapi banyak juga yang berjualan dengan cara seperti itu. Yang penting laku keras. Motifnya hanya ekonomi, bukan menebarkan ajaran kebaikan dari agama. Orang bijak pernah mengatakan bahwa orang-orang munafik mengklaim dirinya mengenal Tuhan, tetapi dengan kelakuannya, mereka selalu mengingkari Tuhannya. Tidak peduli berapa sering orang beribadah dan menjalankan ritual agama, tetapi yang dilihat Tuhan adalah perbuatannya dan caranya memperlakukan orang lain dan makhluk ciptaan lainnya. Itu yang lebih penting.***

Foto dari https://kabarhandayani.com/beredar-info-kelapa-hijau-bantu-penyembuhan-pasien-covid-pedagang-panen-order/

Leave a comment

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑