Inspiration

PENGEMIS

Sebuah penelusuran yang dilakukan oleh media online, Kumparan, beberapa waktu lalu berhasil menguak tentang kehidupan pengemis di Jakarta. Ketika ditertibkan oleh aparat berwenang, didapati beberapa orang pengemis mengantongi uang dalam jumlah fantastis untuk ukuran pengemis jalanan. Ada yang ketahuan memiliki uang 23 juta rupiah. Ada yang 28 juta rupiah. Sebuah fakta yang mengejutkan bagi kebanyakan orang yang berpandangan bahwa para pengemis jalanan sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial. 

Temuan mencengangkan itu juga tidak lantas menggeneralisasi bahwa semua pengemis sesungguhnya kaya. Tidak juga. Faktanya, sebagian besar pengemis memang hidup dalam kemiskinan yang tinggal di wilayah kumuh di Jakarta. Tapi berdasarkan investigasi Kumparan pada 2019 tersebut rata-rata penghasilan pengemis berkisar dari 70 sampai 300 ribu rupiah pe hari. Artinya dalam sebulan rata-rata mereka berpenghasilan antara 2 sampai 9 juta rupiah. Bisa melebihi UMR DKI Jakarta yang saat ini sekitar 4,4 juta rupiah. 

Dulu dalam suatu liputan, saya pernah hidup sehari dengan pengemis jalanan di seputaran Tanah Abang. Saya ikut berpanas-panas di perempatan sambil melihat para pengemis tersebut bekerja. Ada yang cacat digendong adiknya. Ada gadis kecil dengan rambut gimbal. Sementara ibunya hanya duduk di bawah pohon pinggir jalan menunggu setoran. Bahkan saya pun sempat ikut duduk dengan celana rombeng di dekat Pasar Tanah Abang. Sebagai pengemis amatir saya duduk sebelah menyebelah dengan seorang pengemis profesional. Alih-alih mendapatkan uang belas kasihan, orang-orang yang lalu lalang justru melihat saya dengan sinis. 

Saya sempat mampir ke ‘rumah’ mereka. Begitu saya masuk ke kolong jembatan, saya kaget. Ada banyak ruang yang ditata seperti kamar di bawah jembatan. Persis seperti kontrakan sederhana di atas sungai kotor. Saya kaget lagi mendengar pengakuan mereka bahwa penghasilan mereka memang besar. Ada yang ditabung untuk dibawa pulang kampung. Ada yang dibelikan emas dan perhiasan. Saya juga melihat gadis kecil gimbal yang mengenakan anting emas. Mencengangkan.

Malamnya saya bercerita ke teman betapa enak menekuni pekerjaan sebagai pengemis. Tahan berjemur, betah akting muka memelas, kuat berjalan seperti orang cacat, pasti dapat duit. Begitu pikir saya. Tiba-tiba teman saya nyeletuk, “Kamu ini memang sesat pikir. Jangan kamu contoh pengemis, sekaya apa pun. Jadilah orang yang dermawan, yang ikhlas memberi derma ke pengemis!” Saya pun diam.

Saya menyadari, betapa banyak di antara kita yang menyandang masalah kesejahteraan mental. Mental miskin dan mengaku-aku miskin. Takut dianggap kaya dan punya duit banyak. Takut dimintain sumbangan. Takut dimintain uang jajan anak. Kalau tidak percaya, tengok saja para orang tua yang rela berakting habis-habisan ketika harus membayar uang pangkal sekolah. Mereka rela memasang muka memelas dan menangis-nangis minta keringanan. Padahal di rumahnya terparkir tiga mobil dan enam motor. 

Lalu apa bedanya kita dengan para pengemis di perempatan jalanan Jakarta? Sebelas dua belas, lah. Ini persoalan mental. Mental kaya atau mental miskin. Tapi setidaknya kita harus bersyukur, kehadiran para pengemis sesungguhnya menjadi alat uji keimanan dan kedermawanan. Merekalah yang melatih kita untuk selalu berbagi dan memberi. Meskipun kita sadar bahwa berbagi dan memberi tidak harus kepada pengemis, tetapi kepada sesama yang memang memerlukan. Semoga kita lekas sembuh dari julukan penyandang masalah kesejahteraan mental. *** (Leo Wahyudi S)

Foto dari republika.co.id 

4 thoughts on “Inspiration

Add yours

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑

%d bloggers like this: