BAGHDADI
Sekilas judul ini mengerikan. Nama ini mengingatkan sebuah tragedi kemanusiaan dan kekejian tiada tara ketika orang dibutakan oleh keyakinan sesat. Tapi tulisan ini bukan bermaksud untuk mengangkat mimpi buruk kemunduran peradaban manusia di abad 20 ketika ISIS yang dikomandoi Abu Bakr al-Baghdadi membunuh ratusan ribu manusia tak bersalah di Irak dan Suriah.
Sejarah kelam perjuangan ideologi sesat berbau agama memang sempat terungkit lagi di negeri ini. Baru-baru ini bom bunuh diri terjadi di Makassar. Lalu dilanjutkan aksi bunuh diri di Mabes Polri Maret silam. Buntutnya, lebih dari 150 orang terduga teroris dengan paham sesat pun ditangkapi aparat sampai detik ini. Sel-sel terorisme itu ternyata masih hidup seperti sel kanker yang menggerogoti keutuhan dan ketenteraman negeri ini.
Saya terkesan dengan analisis Yuval Noah Harari, pakar sejarah dunia ternama, dalam bukunya “Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia”. Harari berpendapat bahwa terorisme sesungguhnya adalah pertunjukan kekerasan yang mengerikan yang menggiring imajinasi kita agar masuk dalam kekacauan peradaban. Para teroris oleh Harari diibaratkan sebagai seekor lalat yang ingin menghancurkan sebuah toko. Namun karena lalat itu binatang kecil dan lemah, ia memasuki telinga banteng sehingga banteng mengamuk dan merusak toko yang dimaksud. Mereka bisa memprovokasi kita. Tapi semua tergantung bagaimana kita bereaksi.
Terinspirasi aksi bunuh diri teroris tersebut anak saya tiba-tiba bertanya tentang nama Baghdadi. Saya awalnya heran meskipun saya kemudian menjelaskannya. Ternyata ia terinspirasi nama itu untuk memberi nama seekor kucing liar berwarna abu-abu yang sering mondar-mandir di depan rumah. Alhasil, kami sekeluarga pun mulai mencoba memanggil kucing itu Baghdadi.
Pada awalnya panggilan kita tidak berpengaruh. Kucing liar itu tak pernah merasa punya nama Baghdadi. Hari pun berganti minggu. Setelah dua minggu, akhirnya kucing itu pun merasakan sapaan kami. Setiap kali dia muncul, kami selalu memanggilnya, memberinya makan. Kami menyapa dengan penuh perhatian, tanpa menakut-nakutinya. Lama kelamaan kucing liar itu mau mampir setiap sore ke teras rumah untuk minta jatah. Kami pun makin merasa akrab. Sedikit demi sedikit kucing itu mulai berani mendekati kami.
Saya membayangkan bahwa kami sekeluarga sedang melakukan ‘deradikalisasi’ terhadap kucing liar bernama Baghdadi. Keliaran itu ternyata bisa ditundukkan dengan ketulusan, perhatian, cinta, dan sikap apa adanya. Kami membangun kepercayaan tanpa membuat rasa takut. Ternyata hasilnya menggembirakan, meskipun prosesnya masih panjang.
Kalau kucing liar pun dapat ditundukkan, apakah para ‘terduga’ teroris dengan keyakinan liarnya dapat pula dijinakkan dengan ketulusan, cinta dan perhatian? Entahlah. Tapi kami telah mencobanya. Seharusnya manusia yang berakal lebih bisa dijinakkan dari keliarannya dalam berkeyakinan. Tapi entahlah. Kami masih harus menunggu Baghdadi, si kucing liar, untuk makin berani datang ke rumah kami dan bercanda bersama kami. Setidaknya kami lega bahwa perhatian dan ketulusan anak saya sudah ditanggapi dengan ramah oleh si Baghdadi, meskipun tampang dan sikapnya yang liar belum hilang.***(Leo Wahyudi S)
Foto diambil dari kucinglucu.net
Leave a Reply